Bab 15

16.2K 1.5K 21
                                    

Aku masuk ke ruang keluarga tanpa mempedulikan tatapan terkejut orang-orang yang ada di ruang tersebut. Er sudah memeluk Mas Krisna dan melupakanku. Dasar bocah lucu.

Topik pembicaraan yang sedang mereka bahas otomatis berhenti. Aku menyalami Mama, Papa, Mbak Ratih dan suaminya, Mas Arya. Bima dan Gita sedang asyik bermain game.

"Sedang bahas apa, Ma? Sepertinya seru sekali. Terdengar riuh dari luar," tanyaku pada Mama pura-pura polos.

Kulihat Mama menghela nafas, kelihatan masih kesal dengan anak laki-lakinya yang sudah berumur tapi tidak mau diatur. Aku tersenyum tipis. Mungkin Mama tidak mau membahas denganku sehingga hanya diam saja. Aku maklum.

"Er, salim dulu sama Eyang sini. Kok langsung nemplok aja." Kudekati Er yang masih bermesraan dengan Mas Krisna. Dia sedang asyik mengusap dagu ayah jadi-jadiannya itu dan dibalas dengan digesek2annya dagu itu ke pipi Er. Mereka pun tertawa bersama. Mungkin geli karena bekas cukuran yang sudah mulai tumbuh. Ada perasaan hangat menyusup di dadaku. Pemandangan indah tetapi rasanya seperti fatamorgana. Seandainya Mas Juna masih ada ....

"Er ...." Kupegang tangannya yang mungil untuk meminta perhatiannya.

Akhirnya menoleh juga Er padaku. Yang tua juga ikut menoleh dan tersenyum.  Aku tidak melihatnya, tepatnya berusaha untuk tidak melihatnya. Namun, aku tahu dia terus menatapku,  dan entah mengapa sulit sekali mengontrol perasaanku. Tiba-tiba pikiranku teringat peristiwa semalam yang otomatis membuat pipiku terasa panas seperti berada di bawah terik matahari. Aku berusaha keras menetralkan hatiku. Berusaha keras untuk fokus pada Er saja.

"Ada apa, Bunda?" tanya Er dengan tatapan polos. Tatapannya selalu berhasil membuatku tersenyum.

"Salim dulu sama Eyang dan lainnya," bujukku.

Er pun memandang sekelilingnya. Mungkin dia baru sadar ternyata banyak orang yang ada di ruangan ini bukan hanya si ayah kawe itu. Diapun turun dari pangkuan dan menuju kedua eyangnya. Mencium tangan dan pipi mereka erat. Ah, Er memang termasuk anak yang mudah sekali untuk dicintai.

"Hei, Karin sayang, apa kabar?"

Tiba-tiba sebuah suara dari arah belakang menyapaku. Tante Rima datang sambil membawa dua piring yang berisi kue serabi dan kue talam. Diikuti Rasti anak Mbok Nah yang membawa nampan berisi cangkir-cangkir minuman. 

"Kabar baik, Tante. Tante kapan datang?" tanyaku balik. Karena setahuku Tante Rima sudah sebulan ini di Jakarta menengok cucu ketiganya yang baru saja lahir.

"Baru semalam, ditelefon Papamu untuk pulang katanya hari ini ada acara perkenalan dengan orang tua calonnya Krisna. Ternyata Krisna-nya masih belum move on dari gebetannya dulu," jawab Tante Rima seraya meletakkan piring-piring tersebut di atas meja tetapi matanya menatap Mas Krisna, mencibir dan menyindir.  Aku ketawa mendengar kata-kata Tante Rima yang gaul banget. Yang disindir hanya tertawa ngakak dan entah bagaimana aku menemukan matanya sedang menatapku. Ketawaku langsung lenyap dan mengalihkannya dengan mengambil tangan Tante Rima untuk kucium. 

"Yuk, ke belakang kita minum teh di sana. Tante kangen sama kamu," ajak Tante Rima kepadaku. Tanganku diraihnya dan diajak ke taman belakang.

Aku menurut saja. Seperti anak kecil yang dituntun ibunya. Taman belakang rumah tidak terlalu luas tetapi sangat nyaman untuk bersantai. Beginilah rumah seorang arsitek. Desain eksterior maupun interiornya sangat berkelas. Rumah Mama hanya seluas 400m2. Tetapi didesain sangat apik sehingga nyaman untuk ditinggali. Semua kamar tidur letaknya di lantai dua hanya kamar Mama Papa yang berada di lantai bawah sehingga ruangan di bawah begitu lega.

"Budemu sehat, Karin? Ibumu?"

"Alhamdulillah sehat semua, Tante. Karin juga lama tidak menengok Bude."

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang