Bab 36

19K 1.5K 57
                                    

Aku menyusuri Jalan Braga seorang diri. Mas Krisna sedang jadi pembicara sebuah seminar tentang arsitektur di ITB. Daripada jalan-jalan nge-Mall, shopping, aku lebih suka melihat-lihat tempat-tempat bersejarah atau bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial.

Pemerintah kota Bandung, berhasil menyulap kawasan kota tua menjadi bersih dan tertata. Ruas Jalan Braga hingga Jalan Asia Afrika menjadi destinasi wisata sejarah, lokasi ''pemburuan'' fotografer.

Sepanjang Braga City Walk, banyak sekali bangunan-bangunan tua yang hampir mirip dengan Kota Lama di Semarang yang bisa dijadikan spot foto keren. Bangunan ini membuktikan bila Bandung tidak kalah dengan negara-negara Eropa lain yang masih mempertahankan bangunan lawasnya sebagai sebuah objek wisata.

Usai menyusuri ruas kota tua Bandung, aku rehat sejenak. Menghilangkan penat dengan menyeruput secangkir kopi dan menikmati roti serikaya di kedai kopi Purnama. Sebuah kedai dengan bangunan kuno dan ornamen jadul yang memberi kesan klasik tapi asyik. Di tembok kedai dipajang potret-potret suasana Kota Bandung tempo dulu.

Ponselku bergetar. Aku ambil benda pipih itu dari saku jaket. Mbak Sumi . Ah, ini pasti Er. Aku tersenyum. Sudah entah keberapa kalinya Er menelefonku seharian ini.

Jadi teringat kejadian tadi pagi.

Flashback

Aku dan Mas Krisna sedang memadu kasih di hotel tempat kami menginap, ketika ponselku berbunyi. Karena sedang tanggung tidak kuangkat hingga mati sendiri. Tetapi semenit kemudian ponsel berbunyi lagi. Akhirnya Mas Krisna mengalah dan mempercepat ritual bercinta kami. Pikirnya siapa yang menelefon subuh-subuh kalau bukan keluarga. Pasti penting.

Kuambil ponsel dari nakas di samping tempat tidur, ternyata Mas Satria calling. Tentu saja aku sebal dan tidak kuangkat. Iseng banget. Ponsel diam lagi. Aku cek juga tidak ada pesan. Kalau penting dan tidak bisa menghubungi pasti kirim pesan. Ini enggak. Jelas kakakku iseng.

"Itu pasti Er, Yang. Sejahil-jahilnya Masmu enggak mungkin iseng nelefon kita pagi-pagi begini," kata Mas Krisna tenang. Padahal aku yakin dia sangat terganggu.

"Tapi Er jam segini belum bangun, Mas," jawabku kesal. Aku betul-betul jengkel dengan Mas Satria. Kayak enggak pernah jadi pengantin baru aja.

Ponselku berbunyi lagi.

"Angkat, Yang. Pasti Er," bujuknya sambil mengecup pelipisku. "Wow! Video call!" kekehnya setelah mengintip layar ponselku. "Kameranya arahkan full ke wajahmu. Aku ambilkan selimut. Kamu buang kemana selimutnya tadi?" kekehnya lagi seraya bangkit dan mencari selimut yang mungkin jatuh di ujung tempat tidur.

Setelah kurasa aman dengan layar ponsel full berisi wajahku, kugeser ikon telefon berwarna hijau itu. Langsung terlihat wajah Er yang merah padam berurai air mata.

"Kenapa Bunda lama banget angkat telefonnya! Huhuhu." Sedu sedannya.

"Eh, kenapa jagoan Bunda nangis? Ada apa? Er di rumah Pakde kan? Ada Mas Arvian kan? Ada Mbak Sumi juga," bujukku seraya membetulkan letak bed cover yang baru saja diselimutkan Mas Krisna untuk menutupi tubuhku yang polos.

Dia pun ikut masuk ke dalam bed cover dan berusaha merebut ponsel tetapi aku halangi. Aku tidak mau wajahnya ikut tampil di layar. Akan membingungkan bagi Er.

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang