Bab 29

14.5K 1.5K 70
                                    

"Dadah Ayah!" Er melambaikan tangannya penuh semangat ke arah Mas Krisna yang sudah berada di mobil yang akan mengantarkannya pulang ke Semarang. Dia pun menurunkan kaca jendela mobil dan membalas lambaian Er.

"Jagain Bunda ya," katanya pada Er tetapi matanya menatapku penuh arti. Aku hanya tersenyum.

Mobil fortuner warna hitam itupun meluncur meninggalkan halaman rumah Mas Satria yang asri. Entah dapat pinjaman dari mana mobil tersebut. Tiba-tiba saja setelah makan siang bersama dengan Mas Satria sekeluarga, datang mobil tersebut untuk menjempunya pulang. Katanya dipinjami teman yang berdomisili di Jogja.

Setelah mobil hilang dari pandangan dan Er berlari mengikuti Mbak Sumi untuk menutup pintu pagar, aku berbalik hendak masuk ke dalam rumah ketika kudapati Mas Satria berdiri bersandar pada bingkai pintu. Tangannya bersedekap, matanya memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan. Marahkah dia?

"Ck, kalian sudah seperti suami istri saja. Hmm, manggilnya aja udah Ayah Bunda."

"Itu untuk membahasakan Er aja, Mas. Kalau berdua nggak mungkin Karin panggil Ayah ke dia."

"O gitu? Apa manggilnya? Sayang? Cinta?"

Aku melotot padanya. Kutonjok perutnya pelan. Tetapi dasar alay dia pura-pura kesakitan.

"Lebay!" sungutku sambil berlalu masuk ke dalam rumah.

"Dek, duduk sini dulu. Mas mau ngomong-ngomong sama kamu."

Kulihat kakakku itu sudah duduk di kursi tamu dan menepuk-nepuk kursi sebelahnya.

"Apalagi sih? Tadi kan sudah dijelasin panjang lebar oleh Mas Krisna," sungutku tapi tetap saja nurut duduk di sebelahnya.

"Kamu itu, udah ibu-ibu enggak beda sama Erlangga. Sukanya manyun. Mas kangen tahu. Coba kamu hitung sudah berapa kali kamu ke sini semenjak ambil S-2. Baru dua kali ini. Lebih banyakan Mas yang ke kontrakanmu."

"Ck. Kok itung-itungan gitu sih?" decakku sebal. Kulirik kakakku itu. "Kalau Karin bilang sibuk pasti Mas juga balik jawab nggak kalah sibuk kan? Jadi ... oke deh, Karin minta maaf ya."

Kuberikan senyum paling manis dan alis mata yang kugerakkan naik turun. Kakakku ini nggak bisa marah lama sama aku. Benar saja, dia sudah tersenyum dan mengacak-acak rambutku.

"Dek, tadi betul Krisna sudah cerita banyak tentang kalian. Dan seberat apapun hambatan yang kalian hadapi, Mas juga setuju kalau Krisna tidak ingin menikahimu secara sirri. Dia ingin membuatmu resmi baik di mata agama maupun hukum di Indonesia. Untuk sah secara agama lebih praktis karena pihak laki-laki tidak memerlukan wali untuk dirinya. Hanya kamu yang membutuhkan. Tetapi posisimu tidak kuat di mata hukum negara. Apalagi kalian itu sama-sama ASN. Bisa kena hukuman disiplin nanti.

Mas yakin Ibu tidak akan mempersulit kalian. Mas sebagai walimu juga bisa melihat kalau Krisna sangat layak untuk menikahimu. Tidak ada masalah dari pihak kita, Dek. Tetapi untuk sah menurut hukum di Indonesia memang banyak sekali syarat-syarat yang harus dilengkapi. Untuk melengkapai syarat-syarat tersebut akan sulit kalau pihak orang tua tidak kooperatif. Meskipun yang tidak kooperatif itu pihak laki-laki.

Mas berdoa semoga Krisna bisa meluluhkan hati mamanya. Apabila mamanya tidak kunjung merestui ya jalan terakhir kita tempuh. Jelas dengan mengabaikan restunya. Dokumen-dokumen yang menjadi persyaratan pernikahan dari pihak laki-laki semoga bisa dilengkapi Krisna dengan bantuan papanya. Karena untuk menikah secara resmi dokumen seperti fotokopi KTP orang tua juga perlu dilampirkan."

Mas Satria diam sejenak, menatapku dengan tatapan sendu.

"Udah mau nikah lagi aja kamu, Dek. Nggak nyangka adekku cepet banget dapat gantinya. Semoga enggak sedih lagi ya. Masa-masa berkabungmu sudah cukup. Kamu berhak bahagia lagi. Ck, kamu itu nggak cantik lo, Dek. Udah kurus, pake kacamata, badan nggak ada seksi-seksinya. Kaya anak sekolahan gitu. Kenapa dari dulu yang naksir keren-keren sih? Udah punya anak aja masih ditaksir bujang ganteng kayak Krisna. Punya pelet apa sih?"

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang