Bab 21

16.6K 1.6K 30
                                    

Panas terik matahari tidak kurasakan, meski peluh mulai mengalir membasahi tidak hanya dahi tetapi juga mengalir di dalam bajuku. Sejauh mata memandang hamparan tanaman sorghum tampak mengemas dengan pucuk-pucuk berwarna merah maroon yang merupakan biji-biji sorghum sudah menuju matang siap dipanen.

"Mbak, kita ngedrone dulu atau syuting petani dan penyuluhnya dulu?" Tiba-tiba Reni membuyarkan lamunanku. Kulihat dia sudah siap dengan drone-nya.

Hari ini kami akan membuat video persiapan panen sorghum yang akan diunggah di twitter, facebook dan IG resmi kantor dinas kami. Kegiatan yang rutin kami lakukan sebagai bentuk tanggung jawab salah satu fungsi kantor yaitu keterbukaan pelayanan publik. Sorghum itu sendiri adalah tanaman pangan sejenis jagung yang bisa ditanam pada lahan-lahan marjinal dan minim ketersediaan air. Sehingga biasa ditanam pada musim kemarau.

Untuk penduduk setempat sorghum masih dikonsumsi sebagai makanan pokok. Ada juga pabrik makanan yang mengolahnya menjadi sereal makanan bayi. Banyak juga yang dijual untuk pakan burung.

"Ngedrone dulu. Kamu yang mau ngedrone?"

"Enggak lah mbak, Mas Endra seperti biasa. Ini aku bantuin pegangin aja," jawabnya nyengir. "Nanti aku yang ngrekamin petani dan penyuluhnya."

"Oke. Sik, nunggu lainnya dulu. Nanti kita jalan dulu di tengah-tengah lahan dan seperti biasa Mas Endra ambil gambar kita-kita dulu dari dekat ya, Mas. Baru setelah itu drone-nya naik merekam lautan sorghum ini," jelasku pada Reni dan Endra.

Endra, staf di bidangku yang membantu untuk publikasi kegiatan-kegiatan kita untuk diposting di medsos resmi milik kantor dinas kami.

"Ya Mbak, siap."

"Ren, kamu seperti biasa selain merekam testimoni penyuluh dan petani juga ambil gambar-gambar sorghum dari dekat ya. Cari spot yang bagus."

"Oke Mbak."

"Ayo, Pak kita mulai saja jalan ke tengah dulu," ajakku pada Pak Bejo, Kepala Balai Penyuluh Pertanian di lokasi tempat tanaman sorghum ini berada.

"Ayo Mbak. Selak panas je. Ayok Wur, mana yang lainnya. Trisno ndi? Ilang meneh. Ndang cekat-ceket!" perintahnya pada Wuri petugas BPP. "Mesakke Mbak Karin sama Mbak Reni. Ayu-ayu kon panasan ngene." Logat Pak Bejo yang medok membuatku ketawa.

"Enggak apa-apa, Pak. Udah biasa ke lapangan kali," sahutku sambil tersenyum.

"Mas Trisno-nya lagi ambil data, Pak. Katanya takut lupa kalau nanti mau direkam."

"Halah! Wong kerjaannya tiap hari kok lupa," gerutu Pak Bejo.

"Yo namanya mau disyuting dibikin video terus masuk twitter-nya dinas provinsi kan yo pasti nge-tag Pak Gubernur ya grogi to, Pak. Coba Pak Bejo aja nanti yang disyuting," celetuk Wuri tidak mau kalah.

"Kalo aku ganteng, masih muda ya enggak masalah. Lha wis tuwo gini, nanti enggak enak dilihat," jawab Pak Bejo tidak mau mengalah juga.

Orang-orang tertawa semua mendengar obrolan Wuri dan Pak Bejo. Di belakang berlari-lari Mas Trisno menyusul kami yang sudah berada di tengah lahan.

"Oke. Kita mulai ya... Mas Endra siap?" Aku memberi aba-aba agar semua siap di tempat masing-masing agar Endra segera membidikkan drone-nya.

Setelah melakukan berbagai pengambilan gambar dan testimoni dari petani dan penyuluh mengenai produksi sorghum di Kecamatan Wuryantoro, Wonogiri ini kami pun kembali ke kantor BPP yang tidak begitu jauh dari lokasi lahan sorghum.

Panas yang menyengat membuat kami semua kehausan. Di kantor sudah disiapkan dari teh hangat, aqua botol sampai makanan-makanan ala pedesaan. Seperti kacang rebus, pisang rebus dan singkon rebus. Ah, aku suka sekali makanan begini.

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang