"Bunda sini! Sama El di mobil Ayah!" teriak Er ketika aku hendak masuk ke mobil Mbak Ratih.
Aku menoleh ke arah Er. Dia masih digendong Mas Krisna yang sedang berdiri di samping pintu sopir mobil CRV miliknya. Kulihat Mas Krisna membisikkan sesuatu di telinga Er.
"Cepet sini, Bunda! El mau sama Bunda!"
"Mobilnya penuh, Er. Bunda sama Bude Ratih aja ya," bujukku setengah berteriak agar Er mendengarku. Terus terang aku tidak nyaman semobil dengan Mas Krisna, Mama dan Papa. Ditambah ada Tante Rima juga. Aku memilih semobil dengan Mbak Ratih.
"Sudah sana kamu sama Er. Tante Rima ikut mobil Ratih saja." Tiba-tiba suara Tante Rima dibelakangku seraya mendorong tubuhku untuk segera melangkah menuju mobil Mas Krisna.
Dengan terpaksa aku menurut. Tidak mungkin kan aku bersikeras tidak mau satu mobil dengan Mas Krisna. Rasanya jadi lucu saja.
Akhirnya aku masuk di kursi belakang sopir atau tepatnya di belakang Mas Krisna. Setelah itu menyusul Mama dan Papa masuk ke mobil. Er terlihat begitu gembira. Dia melonjak-lonjak di pangkuan Mas Krisna. Mungkin dia pikir kita akan berangkat piknik.
"Er, di belakang sama Bunda ya. Ayah mau nyetir nanti bahaya kalau Er duduk dipangku Ayah," bujukku lembut sambil berusaha mengambil Er dari samping.
"Bahaya ya, Ayah?" tanya Er sambil mendaratkan bokongnya dipangkuan Mas Krisna dan menatapnya penuh tanda tanya.
"Iya. Er sama Bunda ya," jawabnya
"Kemalin Ayah setil sambil pangku El kok bisa?" Anak itu masih ngeyel juga. Turunan siapa itu ya?
"Kan itu cuma dekat, Er sayang. Ini kita perjalanan jauh lo? Nanti kalau dilihat polisi kita dimarahi. Karena anak kecil duduknya harus di belakang."
Tanpa banyak protes, setelah mendengar kata-kata polisi langsung dia berdiri dan melangkah ke kursi belakang dan duduk ditengah antara aku dan Mama. Mobil melaju meninggalkan perumahan menuju arah selatan kota Semarang. Meskipun hari Sabtu tetapi jalanan tetap ramai seperti biasa. Lucky-nya Jason Mraz mengalun lembut dari tape mobil
"Eyang kok tadi malah-malah telus sama Ayah, kenapa?" Tiba-tiba suara Er memecah kesunyian. Dia menatap eyangnya menuntut jawaban.
Entah bagaimana secara kebetulan tatapanku tertuju pada kaca spion dalam dan bertemu dengan tatapan Mas Krisna yang mengarah padaku. Ada begitu banyak makna dalam tatapan kami. Ada banyak tanya dalam benakku yang aku sendiri tidak berani menanyakan kepada siapapun. Meskipun tanpa kata tatapan Mas Krisna seperti menyiratkan perlindungan padaku. Semua akan baik-baik saja, mungkin begitu yang ingin dia sampaikan padaku lewat tatapannya. Entah bagaimana sebentuk senyum terukir di bibirku. Akupun menunduk memutus tatapan kami. Aku takut rasa yang seharusnya tidak boleh hadir perlahan-lahan akan muncul.
"Er, Eyang tidak marah, hanya tadi diskusi saja sama Mas ... Ayah ...," tegurku.
"Diskusi itu apa, Bunda? Tapi tadi Eyang memang bicalanya kelas sama Ayah. El, sampe takut."
Mama diam saja. Tetap anggun tidak menghiraukan pertanyaan Er sama sekali. Mungkin masih marah. Karena biasanya Mama tidak pernah mengabaikan Er. Akupun mengangkat Er dan mendudukkannya di pangkuanku.
"Er, pernah pergi ke Bandungan enggak?" tanyaku mengalihkan pertanyaanya yang langsung disambut dengan gelengan kepala dengan semangat. Aku tersenyum. Kukecup pipi gembilnya. Aku tahu Mas Krisna sekali-sekali menatapku dari kaca spion dalam. Semoga saja dia tetap masih bisa fokus nyetir. Aku ingin memperingatkannya tapi bingung bagaimana caranya.
"Dulu pernah kok Er ke Bandungan. Sama Mbak Gita juga. Er masih keciiiil," terangku, ibu jari dan telunjukku membentuk sejajar dengan jarak yang artinya'kecil'
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basi
RomanceKarina 28 tahun, seorang wanita muda, sederhana, single parent, mempunyai putra berusia tiga tahun, Erlangga. Meskipun ditinggal suami untuk selamanya dia berusaha menjalani hidup dengan bahagia. Setelah enam bulan hidup sendiri, tiba-tiba kakak ip...