"Fahry sudah pergi?" tanyaku ketika Desy meletakkan mangkok bubur ayam di meja dan duduk di depanku.
"Sudah tadi. Aku ajak sarapan dulu enggak mau. Katanya mau sarapan gulai goreng dengan teman-temannya."
"Iyalah. Enakan gulai goreng Pak Samin daripada bubur ayam ala hotel," cetusku tertawa kecil dan menunjuk buburnya dengan daguku.
"Aku kalau Pak Reno enggak paparan pagi ini udah ngikut dia. Ck," decak Desy.
"Udah. Ikhlasin aja. Nanti kamu pulang bareng teman-teman atau nunggu Fahry?"
"Fahry sampai Kamis di Solo. Aku pulang bareng lainnya."
Aku diam saja sambil mengaduk-aduk nasi gorengku yang dari tadi belum satu suap pun yang masuk dalam mulutku.
"Kamu kenapa?" tanya Desy sambil menyuapkan buburnya. "Dari kemarin galau melulu. Kamu itu ya, semakin lama semakin kurus tahu! Makan enggak pernah bener."
"Aku merasa sedang bicara dengan ibuku," jawabku asal.
"Ck. Kamu ini. Mama mertuamu lagi?" tebak Desy seraya menatapku tajam.
Aku hanya mengangguk. Kulihat di meletakkan sendok buburnya dan menyingkirkan mangkoknya ke sebelah. Tangannya ditaruh di atas meja. Tatapannya tertuju padaku.
"Karin, menurutku kalau kamu memang mencintainya ikuti kata hatimu. Untuk menikah kamu hanya perlu restu dari keluargamu. Mamanya Mas Juna tidak berhak untuk menghalangi kebahagiaanmu."
"Semoga kamu tidak lupa Des, mamanya Mas Juna juga mamanya Mas Krisna," kataku tidak bergairah.
"Lalu kenapa? Laki-laki hanya perlu membawa dirinya untuk menikahi seorang wanita. Apalagi? Dia sudah mapan. Aku yakin Mas Krisna sanggup kalau hanya membawa mas kawin seperangkat alat salat. Kecuali kamu minta mas kawin rumah mewah diatas 5 M."
Aku langsung memutar bola mataku.
"Keluargamu aku yakin tidak masalah. Ibumu, masmu, pasti menyetujuinya."
"Des, kemarin Mama ngomong panjang lebar denganku ...." Dan meluncurlah cerita itu yang menyebabkan kegalauanku.
"Gila! Apa enggak sekalian saja Mama melarangmu menikah lagi. Ck! Seribu hari Karin! Itu tiga tahun. Kamu masih muda. Kamu tidak perlu menurutinya! Cukup selesai masa iddahmu. Kamu sudah melewatinya!"
"Des! Pelankan suaramu! Apa kamu ingin semua orang di sini mendengarnya?" ancamku sambil melotot padanya.
Aku teguk air putih dalam gelas bening yang ada di atas meja.
"Lalu? Rencanamu gimana? Bukan ... bukan ... tapi maumu gimana? Apa yang kamu inginkan? Kamu tidak ingin melepaskan Mas Krisna bukan?"
Aku menggeleng lemah.
"Tapi Des, aku ... aku sudah janji sama Mama untuk menjauhi Mas Krisna. Tapi aku enggak yakin sanggup. Di lain sisi, aku juga tidak ingin menikah secepat itu. Paling tidak setahun lagi dari sekarang. Dan aku enggak yakin Mas Krisna mau menungguku. Menungguku dalam ketidakpastian. Ketidakpastian dari restu Mama yang akan diberikan. Ketidakpastian bahwa aku boleh menikah sebelum seribu hari kepergian Mas Juna. Ketidakpastian pada perasaanku sendiri. Aku ... ada sedikit keraguan dengan perasaanku sendiri, Des. Mengapa aku bisa secepat itu melupakan Mas Juna? Mengapa aku bisa secepat itu jatuh cinta lagi kepada laki-lali lain? Ini sebetulnya cinta atau hanya perasaan rindu pada sosok Mas Juna? Aku bingung Des. Padahal dulu ketika akan menikah dengan Mas Juna aku tidak merasakan perasaan yang mendalam begini. Waktu itu aku hanya mengikuti nasehat Bude saja. Rasa cinta akan tumbuh bersamaan dengan waktu. Tetapi yang ini aku betul-betul gelisah, Des. Aku harus bagaimana?" tanyaku penuh putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basi
RomanceKarina 28 tahun, seorang wanita muda, sederhana, single parent, mempunyai putra berusia tiga tahun, Erlangga. Meskipun ditinggal suami untuk selamanya dia berusaha menjalani hidup dengan bahagia. Setelah enam bulan hidup sendiri, tiba-tiba kakak ip...