Bab 23

14.4K 1.6K 50
                                    

Suasana hening. Tidak ada yang berinisiatif mencairkan suasana kaku ini. Hanya satu orang yang selalu menjadi penyelamat suasana akward. Siapa lagi kalo bukan, Erlangga.

"Ayah!" jeritnya tanpa dosa sambil berlari menubruk Mas Krisna.

Mas Krisna langsung bangkit dari duduknya dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara kemudian mencium pipinya gemas.

"Ayah lagi ngapain sama Bunda! Kenapa Bunda dipangku Ayah! Bunda kan udah besal!"

Oh my God. Plis Er plis. Jaga mulutmu, sayang. Aku hanya bisa mendesah pasrah mendengar celoteh Er. Berbeda denganku yang semakin salah tingkah, Mas Krisna malah terkekeh mendengar celotehan Er yang tidak jelas dan ngawur.

"Er ikut Bunda dulu ya. Ayah mau ngomong-ngomong dulu sama Eyang." Mas Krisna menurunkan Er dan memberikannya padaku. Tumben aja nurut nih anak. Mungkin dia merasa juga kalau keadaan terasa canggung.

Mas Krisna mendekati Mama yang masih diam terpaku. Kemudian memeluknya erat. Mbak Ratih hanya mengusap lengan mas Krisna seraya membisikkan sesuatu. Entah apa yang dibisikkannya tetapi setelah itu Mas Krisna membimbing Mama keluar ruangan.

Mbak Ratih mendekatiku.

"Maaf mbak," cetusku lirih. Antara malu, takut dan merasa bersalah.

Mbak Ratih hanya mengelus tanganku lembut dan tersenyum.

Rasti masuk dan mendekati kami.

"Ajak Er main ya," kata Mbak Ratih pada Rasti. Kemudian jongkok di hadapan Er yang masih berdiri memegang jemariku kebingungan. "Er sayang, main sama Mbak Rasti dulu ya... Bude mau ngomong-ngomong sama Bunda."

"Er, lihat kura-kura yuuk, Kemarin Ayah beli kura-kura buat Er. Belum lihat kan?" Rasti ikut membujuk Er ketika dilihatnya Er bergeming dan malah memeluk tubuhku dengan erat.

Mau tidak mau aku tersenyum. Er itu mudah ditebak. Diiming-iming dengan segala jenis binatang pasti dia antusias dan lupa dengan segala macam jenis rajukannya.

"Ayo Mbak liat kula-kulanya!" Er langsung melepaskan tangan mungilnya dari tubuhku dan menarik tangan Rasti untuk segera keluar.

Setelah pintu tertutup Mbak Ratih menatapku, tersenyum. Aku betul-betul salah tingkah. Dia menuju kursi di meja panjang. Duduk di sana dan menepuk-nepuk kursi di sebelahnya seraya menatapku.

"Duduk sini. Kita ngobrol-ngobrol sebentar sebelum bikin kue-kue untuk acara besok."

Aku menurut dan duduk di sebelahnya. Kuhela nafas sambil menutup muka dengan kedua tanganku dengan siku bertumpu pada meja

"Maafkan aku, Mbak. Aku ... aku malu banget," kataku lirih.

Kurasakan tangan Mbak Ratih membelai rambutku. Ah, Mbak Ratih memang kakak yang baik. Dia selalu sayang padaku.

"Kamu ... mencintai Krisna?" tanyanya yang membuatku sontak mengangkat wajahku dan menoleh padanya dengan tatapan penuh penyesalan. Mbak Ratih hanya tersenyum. Dia tidak marah?

"Aku salah ya, Mbak? Tidak seharusnya mencintai laki-laki lain ketika suami saja belum ada seribu hari meninggal." Aku menunduk dalam-dalam tidak berani menatapnya lebih lama.

"Hmm, tidak ada yang salah sebenarnya. Dalam hukum agama juga sudah melewati masa idah. Sudah boleh menikah lagi."

Mbak Ratih diam sejenak.

"Hanya saja hal tersebut tidak bisa diterima oleh Mama. Karena kamu tahu? Juna itu adalah kesayangan Mama. Mama selalu merasa bahwa selama ini kamu tidak pernah mencintai Juna. Apalagi setelah akhir-akhir ini Krisna kelihatan selalu mendekatimu dengan intens. Dan puncaknya kemarin ketika Krisna meminta ijin untuk menjalin hubungan serius denganmu. Krisna mengatakan kalau kamu sudah menyetujuinya."

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang