Kuhirup asap teh chamomile dalam gelas klasik bergambar bangsawan Inggris dalam balutan gaun bak cinderella. Cantik. Mengingatkanku pada wajah anggun aristokrat, Elizabeth, dalam film Poldark.
Aroma teh nya yang khas menenangkan pikiran. Konon teh Chamomile memberikan efek relaksasi dan bagus untuk orang yang menderita insomnia. Entah mengapa Mama selalu meminum teh ini setiap hari. Apakah beliau mengidap insomnia? Atau untuk perawatan kecantikan? Terbukti di usianya yang sudah mendekati kepala enam Mama masih terlihat cantik dan awet muda. Mungkin aku perlu membiasakan diri meminum teh chamomile ini. Tetapi setahuku Mama selalu mengkonsumsi teh chamomile Twinings Tea yang harganya dalam satu kotak berisi 25 tea bag adalah lebih dari seratus ribu. Tentu saja itu bukan kelasku.
Kusesap teh tersebut dengan perlahan. Menikmati setiap tetesnya menyentuh rongga mulutku kemudian mengalir menyentuh bagian dalam tenggorokanku hingga sensasi hangatnya sampai di perutku. Berharap kehangatan tersebut ikut menular di udara sekelilingku.
Kenyataannya tidak sama sekali. Duduk di sebelahku berbatasan dengan meja tempat dua cangkir teh chamomile yang dibuat Mbok Nah itu diletakkan, Mama diam sambil memandang taman di belakang rumah. Setelah menghela nafas diangkatnya cangkir teh chamomile kesukaannya. Persis yang tadi kulakukan.
Dihirupnya asap teh tersebut sebelum meneguknya dengan perlahan. Kemudian diletakkan lagi. Ditatapnya mataku yang juga sedang menatapnya. Namun, aku tidak pernah bisa menang kalau bertatap mata dengan beliau. Kualihkan pandanganku. Aura Mama selalu bisa membuatku takberkutik.
"Maafkan Karin, Ma."
Akhirnya keluar juga suaraku setelah dari tadi tidak mampu berkata apa-apa. Kami hanya berdua. Duduk sambil menikmati sore yang indah dengan teh dan kudapan yang tadi baru aku dan Mbak Ratih buat. Tadi siang aku sudah sempat membuat beberapa kue dan cake dengan Mbak Ratih sebelum dia dijemput Mas Arya pulang.
Sebetulnya begitu Mbak Ratih pulang aku juga mau pulang. Biarlah Er menginap. Ada Mas Krisna ini. Aku ingin pulang saja. Khawatir ketemu Mama. Setelah peristiwa memalukan tadi aku tidak melihat Mama lagi. Sepertinya pergi dengan Mas Krisna. Karena dua jam kemudian Mas Krisna pulang entah darimana tetapi sendirian. Setelah itu dia bermain dengan Erlangga dan tidur siang sampai sekarang belum bangun.
Namun sayang, begitu aku mau keluar rumah Mama pulang dan mengajakku duduk sambil minum teh di belakang rumah. Ya, disinilah akhirnya aku berdua dengannya.
Mama menyerongkan tubuhnya menghadapku. Aku juga melakukan hal yang sama. Namun, sesekali mataku menatap ke bawah. Tidak berani menatap Mama terus. Tatapannya serasa menghunus semua sel-sel tulangku hingga badanku lemas tidak mampu bergerak.
"Karin, Mama sayang kamu, sayang Er juga. Mama juga ingin kalian berdua bahagia. Tetapi kebahagiaan kalian tidak harus dengan Krisna kan? Kalau Er memang sayang dengan Krisna, biar saja. Krisna juga pasti akan menyayangi Er seperti Juna menyayanginya. Tetapi tidak harus menikahi bundanya juga kan?"
Aku langsung mengangkat kepalaku dan menatap Mama dengan tatapan pilu. Iya. Betul kata Mama. Kebahagiaan Er karena kehadiran sosok Mas Krisna bukan alasanku untuk mengikat hidupnya denganku. Aku paham sekali. Tidak akan ada restu sampai kapanpun. Apa yang harus kami perjuangkan? Tidak ada masa depan sepertinya.
"Mama sebetulnya sakit hati. Kamu begitu cepat melupakan Juna. Apakah kamu memang tidak mencintainya sama sekali?" Mata Mama berkaca-kaca. Aku tidak sanggup menatapnya.
Aku menundukkan kepala. Buliran air mata satu persatu turun ke pipi dan jatuh menyentuh jari-jari yang kutautkan di atas pangkuan. Menyentuh cincin kawin dari Mas Juna. Rasanya hatiku seperti ditusuk seribu sembilu dituduh seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basi
RomanceKarina 28 tahun, seorang wanita muda, sederhana, single parent, mempunyai putra berusia tiga tahun, Erlangga. Meskipun ditinggal suami untuk selamanya dia berusaha menjalani hidup dengan bahagia. Setelah enam bulan hidup sendiri, tiba-tiba kakak ip...