Prolog

49.8K 2.3K 18
                                    

"Oke, kalo kamu memang tidak paham juga dengan semua yang kulakukan untukmu dan Erlangga, biar aku katakan dengan sejelas-jelasnya," katanya terus mendekatiku memangkas jarak antara aku dan dia.

Aku menatap matanya sambil melongo. Aku betulkan letak kacamataku yang melorot. Dia maju selangkah akupun mundur selangkah. Aku semakin panik melihat dia yang terus mendesakku. Hingga kurasakan belakang punggungku menabrak tembok. Dia semakin mendekat. Hanya tinggal satu langkah jarak kami berdua. Aku langsung minta time out.

"Stop! Stop Mas!" jeritku tertahan takut membangunkan seisi rumah. Aku tahan dadanya yang bidang dengan kedua tanganku sehingga kami masih punya jarak satu lengan. Akupun menundukkan kepala tak mampu menatapnya.

"Jangan katakan apapun, Mas. Plis! Aku tidak mau dengar apapun penjelasanmu! Tidak ada yang ingin kudengar darimu. Sekarang pulanglah! Kamu salah kalau mengira aku punya perasaan yang sama denganmu. Kamu salah, Mas," kataku sarat emosi dan penuh ketakutan.

"Memangnya ada apa dengan perasaanku? Karin?" tanyanya pelan dengan suara berat dan serak. "Memangnya aku mengira apa tentang perasaanmu?" Dia melepaskan kedua tanganku dari cengkeraman di dadanya. Dipegangnya kedua tanganku dan diturunkannya ke bawah.

Dia maju setengah langkah lagi, sehingga kepalaku yang menunduk menyentuh dadanya yang bidang. Dia lepas tanganku dan kedua tangannya naik ke atas mencengkeram rahangku, mengangkat kepalaku hingga mataku menatap tepat di kedua bola matanya. Lama kami terdiam dalam posisi seperti itu. Akhirnya dia mengambil nafas dalam-dalam. Kalau seperti itu berarti dia sedang berusaha untuk sabar menghadapiku.

"Aku tahu perasaanmu bagaimana. Tapi aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu menyadari bahwa perasaan apapun yang tumbuh di hatimu itu tidak salah. Kamu tidak mengkhianati siapapun, Karin. Kamu harus tahu itu."

Aku diam terpaku mendengar semua perkataannya. Sebetulnya aku tidak terlalu mendengar apa yang dikatakannya. Aku hanya terpaku menyaksikan wajahnya begitu dekat denganku. Bibirnya yang berwarna pink dari tadi bergerak-gerak terus mengucapkan kata-kata yang menurutku tidak kupahami sama sekali.

Mengapa ada cowok yang mempunya bibir berwarna sehat seperti itu. Padahal setahuku dia merokok meski hanya kadang-kadang saja. Five o'clock shadow-nya menambah kesan manly. Aku terpana melihat semua sisi wajahnya.

Tiba-tiba dia tersenyum jahil. Dan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Aku panik. Karena wajahnya semakin dekat otomatis mataku tertutup. Menurutku itu adalah gerakan reflek yang wajar karena orang biasanya tidak akan fokus pada wajah yang terlalu dekat dengan mata.

"Kenapa menutup matamu? Kamu berharap apa dariku?" katanya meledekku. Setelah kurasakan nafasnya menjauh dari wajahku, aku pun membuka mata. Sialan. Dia tersenyum mengejekku. Mengapa aku pakai menutup mata segala. Sialan! Dasar Krisna sialan! Umpatku dalam hati. Dia mundur satu langkah dariku.

Senyum menggodanya semakin lebar melihat aku dongkol banget dengan sikapnya.

"Aku pulang dulu. Besok pagi aku ke sini lagi. Aku sudah janji pergi jalan-jalan dengan Erlangga. Kalau kamu mau ikut dengan senang hati aku acc."

Lalu dia membalikkan badannya. Setelah dua langah dia berbalik lagi. "Aku serius dengan apa yang aku katakan tadi, Karin. Jadi pikirkanlah. Dan, selamat tidur. Jangan lupa mimpikan aku ya," katanya sambil tersenyum tengil seraya mengedipkan matanya padaku.

Astaghfirullah. Apa yang terjadi barusan? Oh Tuhan. Apa yang harus aku lakukan?

_____________________________________________

Hai, ini karya pertamaku di Wattpad. Semoga kalian suka ya.

Jangan lupa bintang dan komennya. Terima kasih ❤❤

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang