Bab 14

15.8K 1.5K 21
                                    

Pagi-pagi aku berniat olah raga di danau belakang perumahan. Aku sudah janjian dengan Desy. Rencanaku setelah olah raga aku langsung kabur ke rumah Desy dan pulang siang hari ketika Er sudah pergi dengan Mas Krisna. Iya, betul. Aku memang menghindari orang itu. Aku belum sanggup untuk ketemu dia setelah kejadian memalukan semalam.

Namun, sepertinya semesta enggan berkompromi denganku. Setelah salat Subuh tadi Mama menelefonku untuk datang ke rumah pukul delapan pagi membawa Er dan memakai baju rapi. Ada apa ya? Apakah ada acara di rumah Mama? Tetapi kemarin sore Mama tidak bercerita apapun kalau ada acara hari ini. Dan sudah beberapa kali acara keluarga semenjak Mas Juna enggak ada aku tidak pernah dilibatkan.

Aku masih termenung sambil menikmati secangkir kopi sasetku ketika ponselku berbunyi. Omaigat, aku lupa!. Langsung aku geser gambar telefon warna hijau itu.

"Kariin! Dimana kamu? Jangan bilang kamu masih molor ya! Tega-teganya kamu belum dateng. Aku bela-belain ke sini karena kamu merengek-rengek minta aku ke sini pagi ini!"

Ya Allah ... bagaimana aku bisa lupa dengan Desy? Kemarin di kantor, Desy memang bilang dia tidak bisa olah raga Sabtu pagi karena Fahry ke luar kota. Dia ingin menemani putrinya di rumah. Tetapi semalam begitu Mas Krisna pulang, aku langsung berpikir keras bagaimana agar hari ini aku tidak perlu bertemu dengannya. Sepertinya hanya Desy harapanku satu-satunya. Sebenarnya aku bisa langsung saja pergi ke rumahnya. Tetapi akan aneh kalau aku pergi ke rumahnya pagi-pagi sekali. Aku kan tidak tahu Mas Krisna menjemput Er jam berapa. Semakin pagi aku meninggalkan rumah semakin besar kemungkinan aku tidak bertemu dengannya. Dan alibiku tentu saja Desy. Desy harus mau ikut olahraga denganku.
Setelah itu aku main ke rumahnya. Tidak akan ada yang curiga dengan akalku yang cemerlang ini.

"Des? Maaf ya ... aku ...."

"Jangan bilang kamu membatalkan janjimu Kariin!" teriaknya sampai aku harus menjauhkan ponsel dari telingaku.

Aku harus berpikir keras bagaimana meredakan amarah Desy.

"Des, tenang dulu, plissss. Aku lagi ada masalah besar ini. Aku bingung banget, Des
Ya ... jangan marah ya," bujukku. Biasanya Desy sangat senang kalau ada gosip yang beredar. Apalagi kalau itu menyangkut hidupku.

"Masalah besar apa, Karin?" tanyanya dengan nada sudah turun dua oktaf dari sebelumnya.

Yesss, aku berhasil. Aku sudah membangkitkan jiwa penasarannya. Sekarang tinggal memutar otak lagi untuk menyampaikan suatu berita yang terlihat menarik tetapi tanpa menelanjangi diriku sendiri. Tentu saja aku tidak akan bercerita pada Desy kalau sedang menghindari Mas Krisna karena peristiwa semalam dia menciumku. Mau ditaruh dimana harga diriku yang aku junjung tinggi itu.

Aku langsung masuk ke ruang baca, ruang kerja Mas Juna dulu, untuk menghindari kuping Mbak Sumi agar tidak mendengar bualanku.

"Kamu tahu kan, kalau Er sampai saat ini masih menganggap Mas Krisna itu ayahnya?"

"Lalu?"

Lalu? Lalu apa ya? Aku berpikir keras untuk membuat cerpen kilat yang cukup meyakinkan.

"Kamu juga tahu kan, kalau aku sebetulnya tidak setuju Er menganggap Mas Krisna ayahnya."

"Iya, karena kamu takut jadi baper." Potong Desy cepat.

"Des! Aku serius!"

"Hahaha, iya iya. Udah gini aja. Daripada aku dilihatin orang-orang ngomong sendiri begini, aku meluncur ke rumahmu aja! Jangan pergi-pergi! Kamu hutang banyak penjelasan padaku!" serunya kemudian langsung menutup ponsel.

"Des!"

Waduuuh, gimana ini Desy malah mau ke rumah. Bakalan nggak mungkin sebentar kalau ngobrol dengannya. Lebih baik aku bersiap ke rumah Mama aja. Aku keluar dari ruang baca, kulihat Mbak Sumi sedang di dapur untuk membuat sarapan.

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang