Dengan ragu-ragu aku melangkah mendekati mereka. Kusalami satu persatu dengan perasaan galau dan bingung. Kupaksakan senyum yang paling memungkinkan yang bisa kutunjukkan pada mereka semua.
Entahlah bagaimana perasaanku, sulit untuk dilukiskan. Antara bingung dan takut.
Mama seperti biasa dengan auranya yang untouchable membuatku keder.Ketika sampai pada Sita, dia tersenyum ramah kepadaku.
"Hai, apa kabar?" sapanya
"Alhamdulillah baik. Kamu?
"Baik juga." Pandangannya beralih kepada kakaknya. "Kenalin, ini Bang Andre, tunanganku."
Apa katanya tadi? Laki-laki itu, bukan kakaknya? Laki-laki itu tunangannya? Lalu ... postingan di IG beberapa waktu lalu? Bukan Mas Krisna yang bertunangan? Ini apa maksudnya ya? Apakah aku kena prank? Sebuah senggolan lembut di sikuku menyadarkanku dari shock yang mendadak. Kulihat laki-laki itu sudah mengulurkan tangannya padaku. Aku pun menyambut uluran tangannya.
"Andre. Khusus dapat undangan dari Krisna untuk hadir di sini. Katanya ada hal maha penting yang mempengaruhi masa depannya yang harus saya sendiri ikut menyelesaikannya." Dia tersenyum simpul. "Sekarang saya memahami mengapa dia seperti kebakaran jenggot ketika awalnya saya tidak mau memenuhi undangannya. Cantik gini mbaknya." Kulihat dia hanya tertawa jahil ketika sikunya disenggol Sita.
"Ndre! Too much information will kill you!" Suara Mas Krisna dari belakangku terdengar geram yang diikuti kekehan Andre dan Mas Satria yang sudah berdiri di sampingku dan merangkulku.
"Sudah ayo makan dulu. Obrolannya dilanjutin sambil makan biar enak. Sita, Andre kita makan sambil nonton TV saja. Biar di sini orang tua sama Krisna dan Karin saja. Yang muda-muda biar ngobrol di ruang tengah ya," usul Mbak Ratih.
"Ratih, kamu itu tamu kok malah yang ngatur!" tegur Mama yang disambut suara tawa orang-orang.
"Enggak apa-apa, Bu Surya. Betul juga usul Mbak Ratih. Monggo, dicicipi semuanya. Ayo Mbak Ratih, Mbak Sita. Karin, kamu kok dari tadi bengong? Bingung ya? Udah sini, duduk sebelah Ibu, nanti Ibu ceritain," kata Ibu ramah
Aku mendekati Ibu dan duduk di sebelahnya. Terus terang aku masih blank. Masih bingung dengan apa yang terjadi. Aku melihat orang-orang tertawa riang. Yang duduk di meja makan hanya Mama, Papa, Ibu, Tante Rima, Mas Krisna dan aku. Yang lainnya mengambil makan di meja panjang yang sudah disiapkan di dekat ruang keluarga. Ruang keluarga dan ruang makan memang terpisah tetapi tidak berbatas jadi masih dalam satu ruangan yang meskipun tidak besar tetapi masih cukup untuk menampung dua keluarga full team.
"Satria, kamu jangan di situ. Sini lo, ambil kursi lagi!" perintah Ibu ketika melihat Mas Satria malah bergabung dengan yang lainnya ngobrol di depan TV. Meja makan memang hanya mempunya enam buah kursi.
Mas Satria menurut kemudian mengambil kursi lagi dan meletakkannya antara aku dan Ibu. Baik aku dan Ibu menggeser kursi kami agar ada space lagi buat Mas Satria.
"Monggo Pak Surya, Bu Surya, Bu Rima, silakan dicicipi. Ini buatan sendiri semua. Mumpung anak-anak kumpul, tadi ramai masak bersama. Jarang-jarang mereka ngumpul. Biasanya rumah selalu sepi."
Awalnya kami makan dalam keadaan hening. Mungkin tidak sopan makan sambil berbicara. Tetapi rasanya jadi kaku sekali. Aku mengangkat kepala dari piringku yang masih penuh, belum ada satu suap pun yang masuk ke dalam mulut. Aku berusaha keras untuk tidak menatapnya tetapi entahlah, tetap saja arah pandanganku ke sana. Ke arah Mas Krisna, yang ternyata juga sedang menatapku.
Dia tersenyum tanpa rasa bersalah sudah kepergok memandangku tanpa berkedip. Ck, Karin, memangnya salah ya diam-diam menatap seseorang? Bukannya kamu tadi juga mau mencuri pandang ke arahnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basi
RomanceKarina 28 tahun, seorang wanita muda, sederhana, single parent, mempunyai putra berusia tiga tahun, Erlangga. Meskipun ditinggal suami untuk selamanya dia berusaha menjalani hidup dengan bahagia. Setelah enam bulan hidup sendiri, tiba-tiba kakak ip...