Bab 30

15.7K 1.5K 58
                                    

Enam bulan yang dijanjikan Mas Krisna lewat begitu saja. Meskipun berusaha untuk tidak menghitungnya tetapi secara otomatis setiap bangun tidur otakku selalu menghitung, enam bulan lewat satu hari, enam bulan lewat dua hari dan begitu seterusnya hingga sekarang sudah enam bulan lewat satu minggu.

Aku hitung sudah tiga minggu berlalu sejak peristiwa lamaran tersebut. Dan tidak pernah sekalipun kuijinkan air mata ini turun. Kukeraskan hati untuk tidak meratapi nasibku. Kusibukkan hariku untuk tidak memikirkannya. Untung saja ujian semester mampu membuatku melupakan sejenak masalah.

Hari Sabtu kemarin hari terakhir ujian semester. Aku berjanji kepada Mas Satria untuk mengunjunginya jika ujianku telah selesai. Sejak mengetahui kisahku yang porak poranda, berulang kali dia memintaku datang ke rumahnya. Namun aku selalu menolaknya dan berdalih sibuk mempersiapkan ujian.

Akupun melarangnya untuk mengunjungiku dengan dalih yang sama pula. Sebetulnya aku hanya menghindari ditanya-tanya masalahku. Sudah cukup aku memberi info padanya melalui telefon kalo hubunganku dengan Mas Krisna sudah tamat karena akhirnya dia memilih melamar wanita yang diinginkan mamanya.

Dan minggu pagi ini, pukul tujuh aku sudah muncul di rumah kakakku. Er langsung rame disambut oleh  Arvian anak kakakku yang berusia lima tahun.

"Masak apa Mbak? Perlu bantuan enggak?" tanyaku sambil melongok apa yang digoreng Mbak Sarah di dapur. Ah, mendoan khas Banyumas makanan kesukaanku.

"Udah selesai tinggal ngangkat ini aja. Udah sana ke dalam aja," jawabnya setengah mengusirku.

"Ih! Malah diusir. Aku mau bikin kopi. Punya kopi sachet, Mbak?"

"Enggak ada. Ada juga kopi bubuk biasa. Jangan dibiasakan minum kopi sachetan, Rin. Nggak baik untuk kesehatan," katanya menasehatiku.

Sama seperti nasihat seseorang ketika aku mengkonsumsi kopi sachetan. Hatiku mendadak menjadi nelangsa. Semangat Karin! Hiburku menyemangati diri sendiri.

"Bikin teh susu aja, deh," kataku akhirnya.

Akupun mengambil cangkir dan mencari teh di kitchen set bagian atas. Susu ada di kulkas.

"Kamu ... baik-baik saja kan, Rin?" Tiba-tiba Mbak Sarah sudah berdiri di sampingku sambil membawa sepiring tempe mendoan yang menggugah selera.

Aku agak gelagapan mendengar pertanyaannya. Mungkin Mbak Sarah merasa kalau tubuhku di sini tetapi pikiranku mengembara ke mana-mana.

"Alhamdulillah baik, Mbak," jawabku semeyakinkan mungkin seraya tersenyum manis menutupi semua gundah gulana yang  kurasakan.

Mbak Sarah hanya tersenyum dan mengusap punggungku dengan lembut.

"Yuk, makan. Itu masmu sudah dari tadi nanyain kapan bisa mulai sarapan," kekehnya geli.

"Ih! Dasar tukang makan."

Kamipun tertawa bersama dan langsung menuju ke meja makan yang berada di ruang tengah.

Soto Sokaraja lengkap dengan atributnya, mendoan khas Banyumas, keripik tempe, semua makanan kesukaanku dan Mas Satria tentu saja sudah terhidang di atas meja makan.

"Wuaahh, Mbak, serasa di rumah Ibu ini sih. Jadi kangen Ibu deh!" seruku langsung duduk dan mencomot mendoan yang masih panas.

"Emang sengaja biar kamu kangen Ibu, Dek. Ibu udah nanyain terus kapan kamu pulang," celetuk Mas Satria sambil menikmati mendoan, menunggu Mbak Sarah meracik soto untuknya.

"Karin udah bilang ibu kok mungkin minggu depan kalau tidak ada remidi. Kalau ada remidi ya nunggu remidinya kapan tergantung dosennya."

"Sambil nunggu remidi pulang dulu aja, Dek. Ibu udah kangen. Beliau sangat mengkhawatirkanmu," lanjut Mas Satria.

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang