Bab 8

15.9K 1.6K 20
                                    

Ternyata jatuh dari motor tiga hari yang lalu sangat fatal bagiku. Setelah di rontgent ada patah tulang di bahuku, apalah namanya aku juga tidak terlalu paham istilah kedokterannya. Kemudian sikuku yang aku pikir patah karena sakit sekali malah tidak apa-apa. Hanya memar saja. Ternyata justru kemarin posisi jatuhku dengan menahan beban tubuh dan melindungi Er menggunakan bahu sebagai tumpuan.

Untung saja dokter spesialis tulang tidak menyarankan untuk dioperasi atau direposisi, karena patah tulangnya berada pada posisi yang baik dan stabil. Aku hanya harus menggunakan arm sling selama sebulan dan diberi obat anti nyeri untuk seminggu. Aku juga dilarang melakukan pemijatan atau pengurutan karena dapat berakibat bergesernya fragmen tulang yang patah.

Berita buruknya adalah sementara waktu aku tidak boleh menggunakan tangan kananku untuk beraktivitas sampai satu bulan ke depan. Dokter memberikanku surat keterangan untuk tidak masuk kantor selama lima hari. Dan yang membuatku semakin sedih Er hanya di rumah menemaniku pada siang hari. Kalau malam hari dia akan dijemput Mas Krisna untuk tidur di rumah Mama. Alasannya takut nanti Er kalau malam rewel minta gendong atau tidurnya lasak malah mengenai tangan kananku.

Entahlah, sebelum ada ayah jadi-jadiannya itu Er tidak bisa tidur kalau tidak denganku atau Mbak Sumi. Namun, sekarang semua teori tersebut dipatahkan oleh Mas Krisna. Padahal ketika ada Mas Juna sedekat apapun Er dengan ayahnya untuk urusan tidur dia selalu mencari bundanya. Kecuali aku dinas luar kota Er seperti memahami dan mau tidur dengan ayahnya.

"Bunda! Ayah nanti jemput El kan!" pekiknya sambil meloncat-loncat. Heran ini anak kenapa tidak bisa biasa saja. Tidak perlu berteriak-teriak kalau ngomong atau loncat-loncat seperti cacing kepanasan. Selalu penuh energi dan semangat. Bahkan kemarin ketika habis jatuh dia hanya menangis setelah kejadian. Mungkin karena kaget. Setelah bangun tidur ceria lagi bahkan sudah lupa kalau dahinya masih benjol.

"Iya. Kalau Er makannya habis. Ayo ini tinggal dua sendok lagi. Er! Jangan lari-lari dong sayang. Sini. Anak pinter kok ya," bujukku agar mendekat padaku.

"El pintel ... El pintel ... ngeenggg ...," celotehnya sambil berlari mengelilingi meja sofa kemudian meja makan sambil membawa pesawat terbangnya, dinaikturunkan seakan-akan pesawat mainannya itu bisa terbang betulan.

Aku menghela nafas panjang antara geli dan kesal karena menghadapi anak yang sangat aktif seperti Er memang dibutuhkan hati seluas samudera kalau tidak mau kita stress.

"Bu, ada tamu. Rombongan dari kantor kayaknya," kata Mbak Sumi muncul dari ruang tamu. Dia memang sedang menyiram bunga di depan rumah.

Belum juga aku mencerna kata-kata Mbak Sumi tiba-tiba suara Desy sudah memenuhi ruangan.

"Karin! Kamu kenapa, Nak?" serunya dramatis.

Aku langsung merubah wajahku seakan mau muntah. Namun, langsung berubah dengan senyuman ketika dari belakang Desy muncul Rully, Reni, Pak Reno, Pak Indra, lalu anak-anak program yang satu angkatan denganku seperti Nuri dan Anisa. Kemudian terakhir Mas Yanto driver bidangku.

"Jangan deket-deket Bunda. Bunda lagi sakit!" teriak Er dan tiba-tiba sudah berada di depanku menghalau orang-orang yang akan mendekatiku untuk sekedar cipika-cipiki bagi yang perempuan dan salam dengan kepalan tangan bagi yang laki-laki meskipun dengan tangan kiri.

Sejenak teman-teman terpaku menyaksikan tingkahnya. Akhirnya malah tertawa geli mendengar celoteh anak lucu itu.

"Wooww! Ada polisi kecil. Siapa nih namanya Pak Polisi kok ganteng banget ciih," goda Nuri sambil toel-toel pipi Er.

Er menoleh ke belakang menatapku. "Bunda, tantenya kok cubit-cubit pipiku? Nanti pipiku tembem kaya bakpao," adunya sambil memegang pipi gembilnya yang langsung disusul tawa orang-orang.

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang