Dua puluh empat KALAP

3.1K 652 43
                                    

"Pertimbangan apa lagi Pak?"

"Ibu mu sedang tidak sehat."

Raden Mas Aryo Pananggalih menumpu kedua tangan pada kepala tongkatnya. Angger menatap putus asa pada ayahnya. Lagi-lagi kesehatan Raden Ayu Wirastri yang jadi masalah.

"Mas Galih itu sakit jiwa Pak. Kita tidak bisa tinggal diam hanya mengandalkan pihak rumah sakit jiwa yang melakukan pencarian. Mereka juga sibuk jadi tidak maksimal menangani masalah ini."

"Terus mau kamu bagaimana Ngger?"

"Bagaimana dengan polisi? Sampai kapan keluarga ini akan diam saja dan tidak meminta bantuan pihak kepolisian?"

"Mas mu itu sakit jiwa Ngger. Yang dia perlukan adalah dokter."

"Tapi Mas Galih itu berbahaya Pak. Dia...punya bibit psikopat. Dia bisa melakukan hal buruk pada banyak orang secara acak. Pertimbangan bapak tidak masuk di akal Pak. Ibu bisa mendapatkan dokter terbaik yang bisa merawatnya. Tapi Mas Galih tidak bisa didiamkan begini. Dia harus ketemu Pak. Satu-satunya jalan kita minta bantuan polisi."

"Ngger..."

"Dia membahayakan keselamatan Gemintang, Pak. Obsesinya membuat Gemintang hancur. Apa bapak mau diam selamanya?"

Angger menatap bapaknya yang diam terpaku.

"Kalau bapak memikirkan reputasi keluarga ini, bapak sangat egois. Kita sudah bertahun-tahun menanggung rasa sakit ini sendiri. Dan sekarang, Gemintang itu orang luar Pak. Dia tidak seharusnya menerima semua ini."

"Jantung ibumu mengalami pembengkakan, Ngger."

Angger berdiri dan menyugar rambutnya keras.

"Ibu...ibu...ibu...sampai kapan harus begini Pak? Apa tidak cukup aku dan ibu Karima mengalah. Bertahun-tahun Pak. Apa bapak tidak kasihan sama ibu?"

Angger kembali duduk. Bagaimanapun dia tidak mungkin melangkahi kewenangan bapaknya itu. Tapi, keadaan memburuk dan semakin tidak terkendali dengan berhasilnya Galih menyusul Gemintang ke Perancis. Galih itu jenis manusia dengan gangguan mental yang bisa terlihat seperti orang waras dan pandai bersandiwara. Dan itu adalah tingkatan yang sangat berbahaya.

Angger menggeleng ke arah bapaknya.

"Aku tidak akan diam Pak. Setuju atau tidak, aku tetap akan lapor kepolisian sekali lagi dan menegaskan bahwa kita membutuhkan mereka. Aku tidak habis pikir kenapa bapak mencabut laporan pada mereka? Sekali lagi, kalau pertimbangannya adalah karena sakitnya ibu, lupakan Pak. Aku sudah tidak bisa mengalah lagi."

"Ibumu pengen Mas mu balik ke rumah ini, Ngger."

"Kita bukan orang yang tidak berpendidikan yang tidak tahu kalau itu tidak mungkin Pak."

"Berapa lama lagi ibumu hidup, Ngger."

Angger menautkan jarinya dan menatap bapaknya lekat. Bapaknya yang berwibawa itu nampak lemah kalau sudah menyangkut ibu tirinya. Bukan karena pria itu begitu mencintai ibu tirinya itu, tapi rasa bersalah terus menderanya karena berulang kali ibunya itu jatuh bangun dengan sakitnya karena masalah keluarga mereka. Cinta istrinya yang buta pada anak laki-lakinya membuat semua menjadi bias bahkan semenjak Galih kecil. Sifat keras kepala Raden Ayu Wirastri yang teguh pada pendirian untuk mempertahankan Galih di rumah itu menjadi sesuatu yang menyulitkan.

"Lalu bagaimana Pak? Apa yang akan bapak lakukan?"

"Pasungan."

"Pak!"

Angger meninggikan suara dan terkejut dengan suaranya sendiri. Sebenci apapun dia pada Galih tapi mendengar usulan bapaknya tentang sebuah pasungan jelas Angger kaget. Bagaimanapun Galih itu manusia yang memiliki hak untuk kebebasannya. Sakit jiwanya memang harus ditangani. Dan Angger berpikir rumah sakit jiwa adalah tempat yang seharusnya. Bukan dipasung.

DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang