Tidak membutuhkan waktu lama bagi Wiji untuk mendapatkan sesuatu yang menarik di ponsel Galih. Wiji meminta suaminya itu untuk pergi membelikannya bebek goreng--yang tempatnya lumayan jauh---, agar dia bisa memeriksa ponsel Galih. Dan Galih yang bukan jenis manusia yang selalu membawa ponselnya kemanapun, membuat Wiji dengan mudah memeriksanya.
"Kenapa pakai sarung tangan Mbak?"
"Nanti kalau sidik jariku tertinggal di situ gimana?"
Wiji menunjuk ponsel Galih yang sudah dia letakkan lagi di atas nakas. Gemintang yang terpaku menatap Wiji yang merunduk dan menggeser sedikit posisi ponsel itu lalu mengamatinya.
"Kenapa, Mbak?"
"Pastikan posisinya sama persis seperti tadi. Bisa jadi Mas Galih curiga."
Gemintang terpaku dan dengan bodoh mengangguk. Mereka keluar dari kamar Galih dan berjalan menuju aula.
"Sudah Mbak kirimkan ke kamu. Mau ke sana? Boleh ikut atau tidak?"
"Mbak...kamu sedang hamil. Ingat."
"Oh...iya..." Wiji mengusap perutnya yang membesar. "Hati-hati."
"Huum..." Gemintang mengangguk. "Jangan lupa dihapus pesan tadi Mbak. Siapa tahu Mas Galih nanti lihat."
Wiji terpaku sejenak dan mengangguk.
"Di Yogya ada sekolah detektif ga sih, Mi?"
"Mau daftar?"
"Tanya aja..."
Mereka tertawa sumbang dan berpisah di ujung koridor. Gemintang meneruskan langkahnya keluar sambil memakai jas dokternya sementara Wiji berjalan ke arah paviliun. Gemintang keluar melalui pintu samping dan meraih tasnya yang ada di kursi selasar. Dia lalu menghampiri motor kesayangannya yang sedang dipanaskan oleh Mas Kelik.
"Berangkat sekarang, Den Ayu?"
"Nggih Mas Kelik. Ini sudah?"
"Sampun, Den Ayu."
"Nggih. Matur nuwun."
"Sama-sama, Den Ayu."
Gemintang memakai pengaman kepalanya dan segera melaju motornya keluar dari kediaman Pananggalih. Bekerja seperti biasa dan sudah berpamitan pada Angger untuk pulang sedikit larut.
Gemintang menyempatkan bertemu Putri di kantin klinik setelah beberapa waktu tidak bertemu.
"Sehat, Mi?"
"Alhamdulillah sehat, Ibu tiri."
Mereka tertawa dan duduk berhadapan.
"Ada apa Mi? Kelihatannya kok banyak pikiran?"
"Enggak. Cuma..." Kalimat Gemintang menggantung. Dia mengaduk kopi dinginnya sekali lagi den menyeruput nya pelan. "Aku perlu memastikan sesuatu, Put."
"Apa? Ga usah nyerempet nyerempet bahaya, Mi. Kurang banyak atau gimana lelakon hidupmu?"
Nada bicara Putri---seperti biasanya---, terdengar khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARI BALIK KELAMBU
Mystery / ThrillerAngger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok keraton. Dan karena keningratannya itu di jidat Angger seakan tertulis kalimat : BUKAN UNTUK GADIS JELATA! Mungkin itu juga yang ada di piki...