Sembilan MENANDAI

5.3K 1K 93
                                    

Cinta dan nafsu. Hanya berbatas nalar yang kadang lupa di mana dan bagaimana harus tetap bertahan untuk tidak melakukan sesuatu yang buruk.

Gemintang menatap nanar pada Angger yang duduk menghadap ke milyaran meter kubik air di hadapan mereka.

"Aku ga ngerti sama kamu Ngger." Gemintang merapikan bajunya.

"Karena memang ga ada yang harus di mengerti, Gemintang. Kita sudah dewasa untuk tahu gimana perasaan kita. Jangan membohongi diri, Mi..."

"Aku ga bisa, Ngger. Ini menyakiti banyak orang. Aku ga bisa bayangin gimana perasaan mereka."

"Mereka ngerti ga sakitnya kita, Gemintang?"

Gemintang terdiam. Kalaupun mereka mengerti, tetap saja mereka akan berpikir tentang betapa bersalahnya perasaan mereka itu. Seperti wanita kedua yang otomatis di doktrin...dia bersalah karena sudah hadir di tengah-tengah kehidupan dua orang yang sudah bersatu.

Gemintang beranjak. Melangkah pelan sambil mengamati tampilannya dengan enggan.

"Gemintang. Mau kemana?"

Gemintang memilih tak menjawab. Dia teruskan langkahnya. Baru kali ini selama dia hidup, dia memilih menghindari masalah dan menolak membicarakannya hingga tuntas. Sesuatu yang pantang baginya. Tapi dia tidak sanggup. Dia bahkan tidak mengerti bagaimana sekarang harus bersikap. Hatinya...yang memang sudah bercabang sejak awal...menjadi semakin tahu dan jelas kemana cabang sebenarnya lebih berat mengarah. Terlebih sosok itu nyata di depan matanya.

Baru saja menyentuhnya. Memilikinya.

Gemintang termangu saat tangan Angger mencekal lengannya. Dia menoleh. Menatap Angger yang juga menatapnya. Banyak cinta dan pemujaan dari pria itu untuknya. Terlihat dari sorot matanya. Cinta yang di balur dengan keputusasaan dan kebingungan.

"Gemintang...."

"Lupakan, Angger."

"Lalu kau akan menyerahkan diri pada Mas--ku dengan keadaanmu sekarang?"

Gemintang meluap....

"Lalu aku harus seperti apa! Apa mau mu? Kau sudah mendapatkan aku Ngger. Hati dan raga. Bukankah itu yang kamu mau, Ngger? Apa ga cukup? Kalau kamu melarang aku menyerahkan diri sama Mas Galih karena aku sudah...ya Tuhan Ngger. Kamu egois. Kamu anggap aku ga pantas? Nista? Siapa yang bikin aku seperti ini Angger?!"

Gemintang mulai menangis. Menolak tarikan tangan Angger.

"Bukan seperti itu, Gemintang. Aku yang berhak bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu denganmu."

"Kalau terjadi sesuatu? Kalau tidak kamu lepas tangan? Aku ngerti Ngger. Ya cuma sebegitu itu rasamu buat aku. Jadi sekarang apa masalahnya? Kalau cuma sebatas itu...anggap sesuatu tidak akan terjadi sama aku Ngger. Selesai urusan."

Cekalan tangan Angger di lengan Gemintang berubah tarikan tangannya di pinggang Gemintang.

"Tidak sesederhana itu. Lihat aku, Gemintang..."

Gemintang mendongak.

"Aku mencintaimu, Gemintang. Dan hatiku bilang kalau aku harus memilikimu. Aku akan bicara sama bapak, ibuk...juga bapakmu."

Gemintang menggeleng.

"Tidak akan ada pembicaraan apapun. Aku menolak membicarakan apapun. Biarkan semua mengalir. Anggap yang baru saja itu...kesalahan yang ga akan terulang."

"Ini masalah besar, Gemintang. Jangan menganggapnya sepele. Ini tentang masa depanmu."

"Masa depan yang mana? Yang baru saja ternoda karena paksaan? Berharap apa aku sama masa depan aku sekarang, Ngger?"

DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang