Lima Puluh Lima HARI PENUH RAHASIA

3.1K 730 122
                                    

Yang sudah merasa tobat sama naskah yang akhirnya seperti menguliti sejarah masa lalu ini, silahkan berhenti dulu. Soalnya ini ga bakalan tamat buru-buru.

Selamat membaca yang masih memupuk niatan bertahan. Seperti..."Jatuh cinta itu mudah, bertahan itu yang sulit."

Semoga besok hari kalian menyenangkan.

*

Untuk waktu yang terbatas, seharusnya berdiam diri tidak dilakukan oleh 2 orang yang semestinya berbicara hal mendesak dan penting. Tapi Angger dan Bapaknya melakukan itu. Mereka berdiam diri untuk beberapa saat.

"Tidak ada alasan khusus mengapa pembagian warisan harus seperti itu. Hanya memang sudah seharusnya seperti itu."

Perkataan Bapaknya membuat Angger membisu. Dia mencoba mencari pembenaran dalam setiap kata itu. Namun dia merasa gagal menemukannya. Hatinya sama sekali tidak tergerak untuk menyetujui kalimat itu. Tidak sedikitpun.

"Mas Galih itu anak laki-laki tertua di rumah Pak."

"Memang seperti itu Ngger. Tapi ada beberapa hal penting yang memang seharusnya dijalankan sesuai dengan kebenaran yang ada. Dia anak Bapak. Tapi kesejatiannya sebagai anak Ibumu dengan pria lain tidak bisa di rubah."

Angger menangkupkan tangannya. Dia menunduk putus asa. Bahkan sejarah yang sedang berlangsung dan berbentuk coreng moreng untuk keluarga besar Pananggalih beberapa bulan ini, tidak mengubah pola pikir Bapaknya.

"Kamu hanya harus menjalankan semuanya Ngger atau kamu tidak akan mendapatkan semuanya."

"Ini tidak lebih dari urusan dunia, Pak. Aku tidak menginginkan harta sebanyak itu."

Helaan napas tidak berkenan terdengar dari mulut Raden Aryo Pananggalih.

"Harta itu terlanjur ada. Sudah ada bahkan sejak waktu yang lama, Ngger. Kamu, seperti halnya Bapak, tidak bisa ingkar pada semua itu. Ada kewajibanmu mengurusnya. Mau tidak mau."

"Kalau selama ini Bapak mencoba membuat semua terlihat baik di mata masyarakat, lalu menurut Bapak, apa yang akan dipikirkan oleh masyarakat kalau mereka tahu Bapak melakukan hal seperti ini?"

"Masyarakat sudah memberikan penilaian mereka sendiri selama beberapa bulan terakhir ini. Benar atau salah, Bapakmu ini salah di mata masyarakat. Sudah terlanjur, jadi untuk apa memikirkan pandangan mereka lagi? Mungkin orang menganggap apa yang Mas kamu dapatkan dari keluarga kita itu sedikit. Tapi dia bisa hidup nyaman sampai tujuh turunan dengan apa yang dia peroleh."

Angger menghembuskan napas pelan. Dia merasa percuma bicara pada Bapaknya. Dia jelas berbeda pikiran dan pendapat dengan pria itu. Sementara Bapaknya berpikir bahwa semua aset harus lestari oleh pewaris sah dari aliran darah yang sama, maka Angger berpikir tindakan yang diambil Bapaknya itu sama saja menyakiti Mas nya. Dia seakan tidak menganggap keberadaan Mas nya selama ini. Dan perkataan nya tentang Mas nya yang tetap anaknya? Itu hanya sebatas agar penglihatan orang-orang tetap baik pada keluarganya. Sungguh pemikiran yang picik sekalipun Bapaknya mengatakan bahwa dia tidak perduli lagi apa pandangan masyarakat pada keluarga besarnya sekarang.

Angger beranjak dan berdiri terpaku. Dia menatap Bapaknya yang terlihat acuh. Khas sekali orang dengan pemikiran kolot yang enggan mengalah.

"Angger pamit, Pak."

Angger tidak menunggu jawaban Bapaknya. Ruang jenguk itu sudah sepenuhnya sepi.

"Mas mu berhak mencari Bapaknya dan dia akan melakukannya. Bapak yakin."

Langkah Angger terhenti. Dia tidak menoleh pada Bapaknya namun dia termenung sejenak sebelum kembali melangkah dan sepenuhnya keluar dari ruang jenguk itu. Angger menghampiri sebuah mesin penjual minum otomatis. Sebuah hal yang baru di kota itu.

DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang