Tiga Puluh Sembilan PRIA BERNAMA BANYU BIRU

3K 745 83
                                    

Demi kalian semua. Sambil nungguin dagangan pun aku nulis. Demi aku juga sih...yang sedang stres menuju linglung. Kebanyakan mikir.

Selamat membaca reader-nim
Semoga kalian sehat terus









Setelah membereskan kekacauan di kediaman Pananggalih, termasuk memulangkan Kirani ke Surakarta setelah gadis itu benar-benar bersih dan membaik.

"Pak, Angger bukan maksud nasehati orang tua. Cuma Ibuk itu..."

"Butuh ditaruh Ghrasia, Ngger. Dia mbebayani."

Angger menghela napas panjang. Dia menatap kejauhan. Paviliun nampak sepi dengan pintu yang terbuka. Semua jendela juga nampak terbuka. Angger melihat kelebat Mbok Sumi naik ke teras pavilliun dengan membawa nampan. Sepertinya dia akan menyuapi Bendoro Raden Ayu Wirastri yang tinggal di pavilliun itu.

"Pak..."

"Kalau dia sekarang lumpuh layu bukan berarti dia tidak berbahaya, Ngger. Wirastri itu..."

"Yang ikhlas Pak. Kita semua salah di sini."

"Bapak belum bisa mikir, Ngger."

"Nggih. Nanti Angger periksa Bapak lagi sebelum dokter keluarga datang. Istirahat saja dulu. Kita bicara lain kali."

"Tidak Ngger. Bapak ga papa. Tapi Bapak butuh bicara dulu dengan Ibumu sebelum memutuskan apapun. Walaupun Bapak tahu dia akan berpikiran sama denganmu yaitu memilih merawat Wirastri di rumah ini. Tapi Ngger, lelakon di rumah ini dia yang memulai. Kalau dia bilang dia yang paling sakit, dia lupa bahwa Bapakmu ini menerima dia dengan segala kelakuannya. Dia hamil dengan orang lain, Bapak diam. Itu karena Bapak juga merasa bersalah dengan perjodohan kami sementara kami masing-masing mencintai orang lain."

"Pak. Mas Galih..."

"Dia anakku Ngger. Sama seperti kamu. Dia tetap anakku. Dia Pananggalih. Tidak akan berubah. Dia anak tertua di rumah ini. Bapak tidak akan mengulangi perkataan Bapak untuk hal itu."

Angger menunduk. Dia merasa pemikiran Bapaknya masih kental dengan ketegasan yang tidak boleh diganggu gugat. Namun Angger bersyukur kalau itu terkait dengan status Mas nya.

"Ya sudah Pak. Kami mengerti. Keluarga juga pasti mengerti. Mereka tidak akan bertanya banyak. Angger akan memastikan itu. Angger menunggu keputusan Bapak tentang Ibuk."

Raden Aryo beranjak dan berjalan menyusuri selasar samping yang mulai hangat karena sinar matahari. Hari itu hari ke 5 setelah kekacauan yang terjadi pada malam Jum'at Kliwon lalu. Raden Aryo baru berkenan mengunjungi rumah itu lagi dan melihat keadaan Wirastri yang tergolek lemah di pavilliun.

 Raden Aryo baru berkenan mengunjungi rumah itu lagi dan melihat keadaan Wirastri yang tergolek lemah di pavilliun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Matikan lampu, Ngger. Sudah siang."

Angger menatap Bapaknya yang semakin menjauh dan sesaat kemudian terdengar suara mobil Bapaknya keluar dari halaman. Bapaknya memang memutuskan tinggal di Sosrowijayan dan belum mau menetap lagi di kediaman Pananggalih di dalam tembok.

DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang