Sembilan Puluh Satu BANASPATI

2.2K 652 140
                                    

Saya itu tidak pernah bisa acuh sama pembaca. Juga komentar pembaca. Dan sejak awal saya menulis di platform Wattpad ini, saya sudah begitu. Jadi mohon maaf kalau saya terkesan lebay karena terlalu ramah

Selamat membaca teman-teman, keep strong and give up if it's necessary. Sometimes menyerah itu perlu






Cahaya berpendar kembali menabrak kaca dan membuat wajah Gemintang terlihat jelas di kegelapan ruang santai itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cahaya berpendar kembali menabrak kaca dan membuat wajah Gemintang terlihat jelas di kegelapan ruang santai itu. Bola api itu seakan membius Gemintang untuk terus menatapnya. Bola api itu berubah menjadi sebuah teror yang mengikis keberanian Gemintang. Gerakan menghantam bola api itu mereda sebentar saat benda itu naik turun dengan gerakan lambat. Gemintang ingin memejamkan mata. Ingin membaca apapun yang ada di kepalanya namun mulutnya seakan membeku. Batinnya porak poranda tak tentu arah hingga dia merasa tidak mampu bergerak.

Bola api itu masih bergerak naik turun. Gemintang yang hanya sanggup mengerjap dan melirik ke kanan dan ke kiri, mengumpulkan harapannya agar seseorang, siapapun itu, naik ke lantai itu dan menyalakan lampu.

Tentang doa yang tidak serta merta dikabulkan oleh Allah. Itu yang Gemintang pikirkan sekarang dan membuat dia merasa kembali putus asa. Dia menggenggam erat temali gunting kuku dan kayu gaharu di tangannya hingga dia yakin telapak tangannya terluka. Sekuat tenaga dia memejamkan mata dan berharap dia hanya bermimpi.

Gemintang tidak lagi bisa mengingat berapa menit dia terduduk di belakang sofa panjang itu. Dia hanya bisa merasakan bajunya sudah basah oleh keringat. Melalui matanya yang dia paksakan terbuka sedikit saja, dia bisa melihat cahaya benderang membuat semuanya mengabur.

Dan terbangun di ranjangnya. Menerima tatapan khawatir dari Mbak Wiji dan Mbok Sumi. Sebuah kompres hangat menutup permukaan dahinya.

"Den Ayu..."

"Mi...kenapa?"

"Jam berapa ini?"

Mbak Wiji terlihat menatap jam di pergelangan tangannya. "Jam 9, Mi. Kalau masih pusing istirahat dulu saja." Mbak Wiji menggeleng ketika Gemintang ingin beranjak.

"Den Ayu mau minum hangat? Simbok bikinkan nggih?"

Gemintang mengangguk dan Mbok Sumi bergegas keluar dari kamarnya. Gemintang menatap Mbak Wiji penuh tanya.

"Kamu kalau capek langsung tiduran di kamar, Mi. Jangan di lantai."

"Aku?"

"Lah, iya. Kamu itu tidur di lantai atas. Simbok mau nyalain lampu kaget tirai belum ditutup padahal kamu ke ruangan itu kata Mbok Sumi."

DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang