Empat Puluh Enam MISTIS

2.9K 755 88
                                    

Penyidik dari kepolisian kembali mendatangi kediaman Pananggalih untuk langkah baru. Penghuni yang mendiami kediaman Pananggalih mulai lupa berapa kali sudah polisi datang untuk memastikan sesuatu. Sudah tidak terhitung. Mereka datang untuk durasi yang sebentar atau bahkan berjam jam lamanya.

"Saya berani disumpah dengan kitab suci agama saya. Saya tidak tahu menahu tentang adanya racun itu. Saya memang yang selama ini merawat Bendoro Raden Ayu Wirastri. Tapi saya abdi dalem yang loyal dan saya tidak memiliki keinginan apapun pada keluarga ini yang bersifat menguntungkan saya secara pribadi."

Mbok Sumi yang orang desa murni---yang bahkan belum pernah sekalipun keluar dari Yogyakarta untuk pergi ke tempat yang jauh---, kali itu berbicara dengan sangat runut dengan mata berkaca-kaca.

Angger dan Galih menatap wanita tua itu. Angger beringsut dan meraih pundak wanita itu yang bergetar. Angger tahu, harga diri wanita itu sangat terluka sekarang. Kecurigaan polisi padanya adalah kecurigaan yang wajar dalam situasi seperti sekarang. Bahkan semua orang menjadi saling mencurigai.

"Mbok...tidak apa-apa. Polisi hanya menjalankan tugas mereka." Angger menatap kepala penyidik yang duduk dengan tenang.

"Baiklah. Ini bukan sesuatu yang bersifat menyudutkan Bu Sumi. Kami memang harus menanyakan hal yang sama kepada semua pekerja di rumah ini. Kami harus bekerja sesuai prosedur."

"Saya mengerti. Seandainya ada yang bisa saya lakukan..."

"Berikan informasi kepada kami seandainya Bu Sumi mengingat sesuatu yang penting, sesuatu yang janggal, atau apa saja terkait hari-hari terakhir Ibu Wirastri Pananggalih."

"Baik." Mbok Sumi mengangguk dan Angger membawanya keluar dari ruang tamu. Angger menghela napas panjang ketika pada akhirnya semua abdi dalem bergantian masuk ke ruang tamu untuk memberikan keterangan.

Semua pekerjaan dihentikan. Beberapa abdi dalem yang baru saja keluar dari ruang tamu, memilih duduk di pendopo di samping rumah induk. Mereka tidak banyak berbicara. Hanya sesekali mereka mencocokkan apakah pertanyaan yang mereka dapatkan sama?

Sementara itu di pavilliun

Gemintang yang baru saja datang dari klinik terpaku di teras pavilliun dan menoleh ke belakang. Dengan ragu dia menuruni undakan. Namun dia kembali terlihat ragu dan kembali naik ke teras.

"Kenapa malah ke sini?" Gemintang berjalan ragu ke arah pintu yang terbuka. Dia melongok ke dalam paviliun namun tidak masuk.

"Dik?"

Gemintang menoleh. Wiji berjalan menghampiri Gemintang yang terlihat bingung.

"Mbak, aku bingung kok malah ke sini. Tadi padahal mau ke pendopo."

"Heh? Kok bisa?"

"Embuh Mbak. Kamar belum boleh diapa-apakan kan Mbak?"

"Kata Mas Galih belum. Biarkan saja seperti semula. Siapa tahu polisi masih membutuhkan tempat ini. Ayo...mau ke pendopo atau gimana?"

"Mas Angger di sana Mbak?"

"Sedang bicara dengan Mbok Sumi. Simbok sepertinya syok banget."

Gemintang mengangguk-angguk.

"Mbak. Dirimu ga penasaran pengen masuk pavilliun?"

"Ga ada apa-apa, Dik. Apa yang bikin kamu penasaran?"

"Ga tahu Mbak...duh..."

"Huum...ayo masuk cepet. Tiba-tiba Mbak juga penasaran."

Mereka berdua seketika seperti memiliki isi kepala yang sama dan melangkah cepat masuk ke pavilliun. Mereka mengedarkan pandangan mereka. Dan mereka tidak mendapati hal yang mencurigakan. Gemintang melongok ke kamar utama paviliun itu dan mengamati sekeliling ruangan. Dia tidak mendapati sesuatu yang mencurigakan. Dia berbalik hendak menghampiri Wiji yang berdiri di teras samping. Namun dia terpaku dan menoleh pelan. Gemintang merapatkan kakinya dan berdiri tegak ketika sebuah cawan menggelinding dari bawah laci kayu jati di dekat jendela.

DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang