Selamat membaca teman-teman. Semoga kalian selalu sehat.
*
Menikah itu terlihat mudah dalam sebuah teori.
"Tolong matikan lampu, Mas. Gerah."
Gemintang menunjuk saklar di dekat pintu. Tepat di sampingnya, sosok Angger mematung.
"Kalau gelap sesak, Mi."
"Ya tapi kalau tidur dengan lampu terang benderang, paginya badan sakit semua. Kamu tahu hormon melatonin bekerja maksimal kalau tidak ada cahaya. Kekebalan tubuh..."
Bunyi ceklek saklar yang ditekan membuat Gemintang berhenti memberi penjelasan. Dia menepuk bantal di sisinya. Angger berjalan menghampiri dan duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Lampu itu dimatikan juga Mi?" Angger menunjuk lampu baca di atas nakas.
"Iya, nanti."
Angger merosot dan menarik selimut.
"Memangnya kamu ga suka tidur gelap-gelapan? Kok aku baru tahu?" Gemintang ikut merosot dan merebahkan tubuhnya.
"Kita belum saling kenal."
Gemintang tertawa pelan. "Ini susah. Aku ga bisa tidur kalau ada cahaya..."
"Aku ga bisa tidur kalau gelap."
Gemintang menghela napas. "Masa kita harus tidur terpisah sih Mas? Bikin pintu penghubung di situ?"
Gemintang menunjuk tembok kamar mereka. Di samping kamar itu ada sebuah kamar kosong.
"Hiiish...mana bisa seperti itu? Memangnya kita Ratu Elizabeth sama Pangeran Philip?"
Gemintang tertawa dan memeluk Angger erat. "Lha terus gimana?"
"Nanti dimatikan." Angger menghela napas dan memutuskan bahwa dia yang akan mengalah.
"Huum...buka tirai sedikit. Nanti dapat cahaya dari lampu taman. Ga pas di sini..." Gemintang menepuk kasur di bawahnya. "...tapi kamar jadi ga terlalu gelap."
Angger termenung. "Heh? Ga usah. Malah horor."
Mereka terpaku menatap jendela kamar yang tertutup tirai berlapis. Gemintang beranjak duduk lagi dan menoleh pada Angger yang juga kembali duduk.
"Ini sebenarnya pembicaraan pengalih gugup. Kamu gugup ga Mas?" Gemintang sepertinya menyadari sesuatu setelah beberapa saat
"Huum." Angger mengangguk canggung. Suasana pengantin baru membuatnya gugup setengah mati. Sejak tadi, sampai mereka berdua menyadarinya.
"Kamu capek ga Mas? Tadi acaranya padat banget kok. Ini jam berapa, ngomong-ngomong?"
"Aku ga capek, Mi."
Gemintang terhenyak ketika Angger meraih lehernya dan mencium bibirnya hangat. Bibir pria itu gemetar seperti kedinginan. Tangan Gemintang seketika memegang lengan Angger erat. Dia mulai gelisah dan merutuk dalam hati. Gerakan gelisah dan gumaman yang keluar dari mulut Gemintang membuat Angger terpaku. Dia tidak menyangka akan se canggung itu sementara interaksi mereka selama ini bukan interaksi yang canggung.
"Huum...apa masih..."
Gemintang mendongak dan menggeleng. "Aku sudah melakukannya, Mas. Ikhlas. Apakah membekas di hati? Ya. Tentu saja. Tapi aku sudah bisa mengalihkan semuanya dengan baik. Melihat kalian berdua bahagia, aku menyadarinya bahwa itu tujuan awal ku...ketika mengenal kalian dan datang ke rumah ini sebagai perempuan yang dicintai oleh dua kakak beradik."
"Huum..." Angger termangu. Dia menatap Gemintang yang juga menatapnya lekat lengkap dengan senyuman yang selalu membuat Angger kelimpungan. Senyum yang mungkin saja hilang karena jalan hidup mereka yang begitu berat. Tapi tidak. Senyum itu tetap ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARI BALIK KELAMBU
Mystery / ThrillerAngger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok keraton. Dan karena keningratannya itu di jidat Angger seakan tertulis kalimat : BUKAN UNTUK GADIS JELATA! Mungkin itu juga yang ada di piki...