Dua puluh VERSAILLES

4.2K 889 68
                                    


"Mi..."

"Aku tetap pergi Put."

"Gimana to? Mas Angger keadaannya ga terlalu baik loh Mi."

"Dia akan membaik. Lagipula, seharusnya dia itu...aaah...sudahlah Put. Aku tetap pergi."

"Orang bilang tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan..."

"Aku menolak menyelesaikan apapun Put. Kamu yang paling ngerti aku setelah Bapakku. Dan buat aku, semuanya sudah selesai."

"Kita pulang? Aku harus nginep. Duh...aku ga percaya aku bakalan sendirian di sini Mi."

"Kita masih bisa Videocall."

"Iya Mi." Putri menggapai bahu Gemintang. Mereka berjalan beriringan dan keluar dari rumah sakit. Siang kian terik saat Gemintang memutuskan menoleh sekali lagi ke arah lobby rumah sakit. Gemintang menghela napas. Dia sudah tidak perduli keputusannya ini benar atau tidak. Dia hanya ingin pergi.

--------------------------------------

Sehari yang menjadi seminggu. Seminggu yang pada akhirnya menjadi dua minggu yang murung dan beranjak menjadi dua bulan yang abu-abu. Kata orang itu warna yang tidak jelas. Warna di antara hitam dan putih.

Angger menyesap tehnya perlahan. Secangkir teh yang dipaksakan oleh Ibu kandungnya untuk diminum menemani sepotong bolu talas yang menggugah selera.

"Maumu gimana to Ngger? Apa selamanya kamu akan berdiam diri di rumah?"

"Aku ga mau apa-apa Bu. Nanti aku juga akan membaik."

"Kapan Ngger?"

"Aku ga tahu Bu. Pokoknya nanti aku pasti membaik."

"Kalau yang memberatkan kamu adalah Gemintang...rasanya tidak adil buatmu, Ngger. Dia pasti sudah memulai hidup barunya di Perancis."

"Aku ga mau membicarakan dia Bu."

"Menghindar juga tidak selamanya baik. Coba kamu pikir, kalau ternyata dia juga sama keadaannya denganmu?"

"Dia pasti baik-baik saja Bu. Dia bahkan tidak perduli aku sekarat di rumah sakit."

"Gemintang pasti punya pertimbangan sendiri kenapa dia melakukan hal itu."

"Apapun pertimbangannya Bu..."

"Apapun itu Ngger. Dia sejatinya wanita yang baik. Jangan pernah melupakan sejarah. Sejarah bahwa kalian semua yang sudah membuatnya hancur. Kau, sama sekali tidak mempunyai hak apapun untuk tidak menerima perlakuannya."

Angger terpaku. Dia menatap punggung Ibunya yang berlalu dari halaman belakang rumah mereka. Jangan tanyakan seperti apa rasa sakit itu, Ibunyalah yang paling tahu. Dia wanita yang bukan setahun dua tahun berjalan beriringan dengan rasa sakit. Tertindas, diabaikan, dan mengalah adalah layaknya pakaiannya sehari-hari. Jadi, kalau dia sampai berkata seperti itu, maka dia berkata berdasarkan pengalaman yang bukan sekedar omong kosong. Tatapan mata Angger lalu beralih pada bunga kenikir berwarna oranye yang tubuh di sepanjang tembok belakang rumah. Bunga itu sudah terlihat menua, siap digantikan dengan yang baru. Kalau boleh dibilang, bisa jadi bunga itu adalah saksi sejarah. Saksi ketika semua baru saja dimulai, ketika semua nampak baik-baik saja, dan ketika semua hancur lebur tak menyisakan apapun.

Lembayung senja turun perlahan. Matahari seakan menjauh dan menghilang di balik tembok kokoh yang sedikit berlumut. Dulu semua itu nampak indah. Apapun nampak indah di Yogyakarta. Semua nampak indah saat masih ada Gemintang. Tidak seperti sekarang. Semua nampak biasa saja. Semua karena tidak ada Gemintang di sini.

-------------------------------------

Segalanya di tempat uang baru bisa jadi tidak mudah. Tapi bisa juga sangat mudah. Seperti halnya Gemintang di tempat baru bernama Versailles. Sebuah kota di barat daya Paris. Kota itu elok. Gemintang seperti berada di rumah sendiri, karena kenyataannya Versailles sedikit mirip dengan Yogya pada bagian gedung-gedung kuno dan tua sebagai saksi sejarah.

DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang