"Mom sudah berusaha menolak saat dia tiba-tiba menelpon dan meminta bertemu tapi...""Tidak apa-apa Mom."
"Mom keluar dulu. Atau sebaiknya kita makan dulu baru kalian bicara?"
"Maaf Mom. Aku...nanti saja aku makan." Suara Gemintang pasrah. Nada putus asa kental sekali dalam suaranya. Melanie melepaskan tangan Gemintang yang digenggamnya. Dia melangkah keluar melewati Angger. Berhenti sejenak hanya untuk menghela napas. Sebagai Ibu, dia jelas larut dalam kubang kebingungan menghadapi masalah anaknya yang sangat pelik. Melanie meneruskan langkahnya dan menutup pintu memberi ruang pada Gemintang dan Angger.
Nyatanya hening lah yang akhirnya menjadi ratu tak terbantah di ruangan itu. Gemintang melangkah keluar dari kamarnya menuju balkon dan duduk di sofa satu-satunya yang ada di sana. Angger yang mengikuti Gemintang terpaku di dekat pintu.
"Apa kabar Mas?" Gemintang tertawa sumbang sesaat setelah mengajukan pertanyaan paling umum dan biasa yang bisa diucapkan oleh dua orang yang sekian lama tak bertemu.
"Tak lebih baik darimu, Gemintang."
Gemintang termangu. Kedua telapak tangannya menumpu pada lututnya. Dia merasa dia tak mempunyai kata-kata apapun lagi untuk Angger saat dia merasa semuanya sudah selesai dengan pria itu. Saat dia merasa mungkin sudah saatnya dia berkutat dengan masalahnya sendiri. Masalah yang tercipta karena pria yang sekarang bersamanya itu dan keluarganya. Ketika dia merasa dia sudah selesai, maka dia juga merasa saat itulah waktunya dia meratapi sendiri kegagalannya untuk menyembuhkan hatinya. Dia tidak berharap dia akan melihat pria itu lagi. Karena dengan kehadiran pria itu, sekali lagi semua akan kembali mentah dan mungkin saja semakin rumit.
"Pertanyaan yang umum selanjutnya adalah untuk tujuan apa kau kemari?"
Sofa di samping Gemintang melesak. Angger duduk dengan menumpukan kedua tangannya di lutut. Dia mengusap berulang kali wajahnya lalu menyugar rambutnya sedikit kasar.
"Cuma pengen lihat kamu, Mi..." Angger menoleh dan pandangan mereka berbenturan. Gemintang sejenak terkesiap. Dia mungkin selamanya tidak akan pernah siap menerima tatapan seperti itu. Tatapan mata sayu yang nampak sangat lelah yang tak mengurangi ketampanan Angger. Gemintang mulai memindai. Kira-kira sudah berapa lama Angger tak bercukur? Rambut halus jelas merajai rahangnya. Sesuatu yang nyaris tak pernah ada di wajahnya dulu. Lalu, wajah tampan itu nampak sangat lelah, apakah dia juga tidak sanggup menyembuhkan hatinya? Tapi dia kan pria? Pria seharusnya lebih mudah melakukan itu? Tidak seperti dia yang selalu menggunakan hati di atas logika?
"Mi...apa yang kau temukan?"
"...hmm...seseorang yang sudah membaik."
"Omong kosong. Aku tidak se pandai pikiranmu."
"Kau bilang kau kemari untuk melihatku? Bukankah itu pertanda bahwa segalanya sudah membaik Mas. Paling tidak di kamu."
Angger menatap Gemintang semakin lekat. Setumpuk gunung dosa mengalahkan gunungan sampah setinggi apapun yang pernah dia lihat. Kekacauan yang terlihat dalam diri Gemintang adalah karena dirinya.
Oh...Gemintang yang seharusnya bersinar layaknya nama yang tersemat pada dirinya.
Harus dia temukan dalam keadaan yang bahkan lebih buruk dari keadaannya. Raga Gemintang nampak layu. Bahkan mungkin pikiran dan caranya menghadapi dunia tak lagi sama dengan dulu. Lalu apa dia sanggup menyampaikan sebuah kenyataan yang dibawanya dari Yogya hingga ke Versailles ini?
"Mas Galih lari? Apa itu yang mau kau sampaikan hingga harus merasa perlu jauh-jauh kemari?"
Angger nyaris mengumpat. Gemintang, bagimana pun keadaannya sekarang, ternyata tak pernah lalai. Atau mungkin justru karena tempaan masalah dia menjadi semakin waspada?
KAMU SEDANG MEMBACA
DARI BALIK KELAMBU
Misteri / ThrillerAngger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok keraton. Dan karena keningratannya itu di jidat Angger seakan tertulis kalimat : BUKAN UNTUK GADIS JELATA! Mungkin itu juga yang ada di piki...