--Dulu aku meragu...
Untuk menuliskan apa yang aku rasa
tentangmu dalam sebuah prosa,
dan mengirimkannya padamu
Tetapi keraguan itu terkikis
saat aku sampai pada kesadaran
yang tak bisa aku bantah...
Tentang betapa baiknya dirimu--Gemintang menghela napas sambil melipat kembali kertas berwarna biru yang sekali lagi bertuliskan tentang sebuah puja-puji yang ditujukan padanya. Gemintang tahu, ini tidak akan pernah berhenti saat ini juga. Tidak. Di film-film juga seperti itu. Pengirim prosa indah itu akan terus mengiriminya prosa setiap hari. Juga burung kertas yang sekarang berwarna sama dengan secarik kertas berisi prosa itu, biru.
"Belum ketemu juga? Apa ndak pengen kamu cari lagi? Atau bikin duplikatnya gitu?"
Gemintang menoleh dan mendapati Putri Naira, sahabatnya, menatapnya sambil lalu, mulutnya nyerocos mengajukan pertanyaan dan beberapa opsi sehubungan dengan kunci lokernya yang hilang dengan logat Jawa Timuran yang khas.
"Aku udah cari kemana-mana, Put. Ga ketemu juga. Mungkin lagi di pinjem sama hantu penunggu kamar buat mainan."
"Issh kamu ini. Buat apa hantu pinjem kunci loker kamu? Ayo dibikin duplikat aja. Aku ga kemana-mana nih. Aku temenin..." Putri terlihat mengantongi kunci lokernya yang hanya selang dua loker dari loker Gemintang.
"Ga bisa. Aku ada janji sama Bapak. Mau bersihin galeri. Wis ben...ayo pulang."
"Aku ikut ke rumahmu wae kalau gitu. Eh, Mi...Bapakmu itu ga ada niatan buat kawin lagi apa? Aku mau daftar." Putri mengamit lengan Gemintang saat mereka mulai berjalan di sepanjang koridor menuju keluar bangunan kampus mereka.
"Jangan edan...".
Putri tertawa keras mendengar jawaban Gemintang. Oh...andai dia dua kali lebih tua dari usianya sekarang...dia pasti akan mengejar Bapaknya Gemintang itu. Seniman yang bukan seperti seniman. Gayanya...apa ya? Cool?
"Mampir beli gudeg dulu ya Put. Tadi Bapak pesen."
"Yo wis...ayo."
Mereka sampai di pelataran parkir dan Gemintang segera memakai helm yang bertengger di motor kesayangannya.
"Aku males sebenernya mboncengin orang yang ga taat lalu lintas kayak kamu ini." Gemintang menaiki motornya dan Putri bergegas naik di belakangnya.
"Kalau dicegat polisi tinggal dikedipin mata, Mi."
"Wuuh...gemblung."
Putri tertawa keras bersamaan dengan motor yang melaju keluar dari halaman parkir.
Untuk sepersekian detik. Pemuda berusia 18 tahun itu terpaku. Namun tangannya segera terulur membenarkan bingkai kacamata yang sedikit melorot. Dia mengayunkan langkah menuju ke dalam gedung Fakultas Kedokteran di belakangnya. Langkahnya tak terlalu laju. Namun dia bergerak cepat saat telah mencapai deretan loker. Dia berdiri termangu sejenak di depan loker bernomor 4-16, yang artinya loker nomor 16 baris ke 4. Tangannya terulur. Memasukkan secarik kertas dan sebuah burung kertas berwarna kuning. Sejenak pemuda itu tersenyum saat menatap bagian dalam pintu loker. Ada foto yang selalu menggelitik hatinya. Foto Gemintang dengan raut wajah yang...enggak banget! Gemintang terlihat berpose dengan mata juling ke dalam. Di belakangnya adalah gadis yang konon katanya adalah satu-satunya sahabat dari Gemintang. Gadis yang tadi naik motor dengannya. Namanya Putri Naira.
Pemuda itu menutup pintu loker cepat saat didengarnya suara gaduh orang berbicara dari ujung lorong.
Dia berbalik cepat dan melangkah keluar dari dalam kampus.
Dia membisikkan berulang kali kalimat di dalam hatinya...
Gemintang itu baik. Yakin.
----------------------------------
Ini hanya mengalir dan memenuhi imajinasi. Jadi harus di tuangkan. Kalau ga, bisa migrain...haha
👑🐺
MRS BANG
KAMU SEDANG MEMBACA
DARI BALIK KELAMBU
Mystery / ThrillerAngger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok keraton. Dan karena keningratannya itu di jidat Angger seakan tertulis kalimat : BUKAN UNTUK GADIS JELATA! Mungkin itu juga yang ada di piki...