"Sampai kapan Mas kamu akan seperti ini! Aku tidak perduli kamu menyakiti hati dan ragaku seperti apa Mas. Tapi kamu. Kamu butuh diobati."
Hari ke sekian yang sudah lebih dari seminggu. Cukup bagi Gemintang siksaan dari Galih.
Gemintang menatap Galih tajam. Mata coklatnya berurai air mata. Pria itu membatu dengan wajah memerah menahan amarah. Dan...seakan tak tersentuh barang sedikitpun dengan kepiluan di depannya...
Plaaaak!!
Galih menampar Gemintang sangat keras hingga Gemintang terpental ke ranjang. Gemintang meraba pipinya terasa memanas.
"Hak apa kamu menilai aku, Gemintang?! Aku sakit? Sakit apa? Aku sehat itu yang harus kamu tahu. Aku cukup sehat untuk tahu kau bermain gila dengan adik tiri ku yang sempurna itu. Kau memberikan hak yang seharusnya menjadi hak ku, Gemintang. Kamu tak ubahnya pelacur."
Gemintang terpaku. Galih mungkin saja benar. Dia tak ubahnya pelacur yang menyerahkan dirinya dengan sukarela pada pria lain sementara dia terikat pertunangan dengan Galih. Apapun pembelaannya, Gemintang tahu dia salah. Sudah tidak ada hak untuknya, untuk membela dirinya di hadapan siapapun. Terutama di hadapan Galih.
"Kita sudah bercerai, Mas."
"Pria tua itu. Bapakku sendiri, Gemintang. Bapakku sendiri melakukan ini padaku. Membuat kita bercerai. Dan kau pikir itu sah? Tidak. Sekalipun dalam khayalan mu. Aku tidak mau menceraikan mu sampai kapanpun. Perceraian itu tidak pernah terjadi karena tidak ada persetujuan dari aku."
"Mas. Jangan seperti ini. Ayo kita pulang dan...aku akan menemanimu Mas. Sampai sembuh."
Galih tertawa dengan tiba-tiba. Sangat keras dan seakan Gemintang merasa, setiap pilar kayu di rumah bergetar karena suara keras Galih yang terbawa udara.
"Jangan pernah berpikir aku akan melepaskan kamu, Gemintang. Jangan pernah membayangkannya."
Galih melangkah keluar dan membanting pintu. Dan sekali lagi, seperti hari lalu ketika bunyi ceklek terdengar. Bersama bunyi itu pula, hati Gemintang mencelos.
Gemintang bangkit. Menjangkau jendela berteralis besi yang terlihat baru di kamar yang ditempatinya. Gemintang meringis sambil memegang perutnya. Tak ada satu haripun, Galih tak berbuat tak senonoh padanya. Sekuat apapun dia melawan. Dia akan berakhir mengenaskan seperti ini.
Gemintang menyugar rambutnya perlahan. Kusut. Tatapan Gemintang kembali bertemu dengan pohon-pohon pinus yang membisu.
Gemintang luruh sekali lagi. Terduduk di lantai kayu yang terasa sedikit dingin. Mungkin karena udara pagi membiaskan uap air dan tertinggal di sana.
"Mas Angger. Aku bisa gila kalau di sini terus."
Gemintang berbisik lirih. Dia menutup mulutnya dan merasa dirinya seperti tak mengerti arti rasa malu. Membisikkan nama pria yang pasti tengah kebingungan mencarinya. Tangan Gemintang terangkat menyentuh cahaya yang menyeruak masuk melalui celah dinding kayu. Hampa. Tak tersentuh. Gemintang membolak balikkan telapak tangannya. Cahaya pagi yang menyeruak melalui celah kayu itu membentur pintu saat Gemintang menurunkan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARI BALIK KELAMBU
Mystery / ThrillerAngger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok keraton. Dan karena keningratannya itu di jidat Angger seakan tertulis kalimat : BUKAN UNTUK GADIS JELATA! Mungkin itu juga yang ada di piki...