Selamat membaca ya teman-teman
*
Angger mengangguk dengan raut wajah waspada. Dia menatap Mbah Margo yang sudah berada di ruang istirahat para dokter selama lebih dari 15 menit. Beberapa bulan terakhir dia memang sudah membagi pemikiran nya menjadi dua. Antara ber logika dan tidak. Nalar dan tidak. Dunia nya dengan dunia lain yang kini semakin dia yakini lebih dari sekedar mendengar pendapat atau pengalaman orang lain.
"Jadwal Gemintang penuh, Mbah setahu saya."
Mbah Margo terlihat mengusap dagunya. Angger dan Gemintang yang tidak satu ruang lingkup kerja, membuat dahinya mengernyit seakan dia memikirkan sebuah kemungkinan yang sulit.
"Dan jadwal kami sering sekali tidak barengan jadi kami juga jarang bertemu. Maksud saya, bertemu pun dalam sehari bisa sangat sebentar, Mbah."
"Akhir-akhir ini apa ada yang berubah, Den?"
Angger tertegun. "Tadi..." Angger menoleh bingung ke arah pintu seiring dia yang mengingat sikap Gemintang yang aneh saat di IGD. "...tadi Gemintang seperti marah tanpa alasan sama saya, Mbah."
"Terus terang Simbah kan belum melihat langsung. Tadi sebenarnya sudah mampir ke klinik, cuma Nduk Gemintang tidak ada. Saya pikir di sini."
"Tadi memang kemari, Mbah. Dia ada jadwal malam, dan kemungkinan besar dia pulang dulu..." Angger mulai cemas dengan situasi misterius saat itu. Dari sikap Mbah Margo yang terlihat hati-hati, Angger yakin bahwa sedang terjadi hal yang tidak beres.
"Den Mas jadwalnya masih lama?"
Angger melihat ke arah jam tangannya. "Satu jam lagi, Mbah. Nanti jam 7 saya selesai. Bagaimana, Mbah?"
"Nduk Gemintang mungkin sudah ke klinik sekarang?"
"Sebentar, saya coba hubungi, Mbah."
Angger meraih ponselnya dan mencoba menghubungi nomor Gemintang. Angger mengernyit dan beberapa kali sebelum menghela napas pelan. Gemintang tidak mengangkat teleponnya.
"Begini saja, Mbah. Simbah nunggu di sini sementara saya ngecek sebentar ke IGD. Terus nanti ke klinik langsung bareng saya. Bagaimana, Mbah?"
Mbah Margo mengangguk seiring suara adzan berkumandang. Lalu disusul anak-anak yang riuh bersholawat. Mbah Margo memutuskan menunggu Angger di masjid rumah sakit. Mereka keluar dari ruang istirahat dan berpisah di depan ruang IGD.
Waktu seakan berjalan sangat lambat ketika hati begitu tergesa akan sesuatu dan penuh dengan kekhawatiran. Angger akhirnya menyelesaikan sesinya dan tersenyum pada Septi yang mengulurkan pena untuk menandatangani buku absen. Angger memindai tanda pengenalnya tepat di samping meja ruang jaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARI BALIK KELAMBU
Mystery / ThrillerAngger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok keraton. Dan karena keningratannya itu di jidat Angger seakan tertulis kalimat : BUKAN UNTUK GADIS JELATA! Mungkin itu juga yang ada di piki...