Jam menunjuk pukul 6. Jelas belum terlalu malam dan hawa panas musim panas cukup mengganggu karena dibarengi dengan debu yang beterbangan tertiup angin.
Gemintang masuk ke rumah diikuti Putri yang memilih berbelok ke studio lukis yang masih dibuka. Putri menghampiri Hilmawan dan membantu pria itu mengepas bingkai. Mereka segera terlibat dalam pembicaraan serius ketika Putri bertanya tentang pos ronda yang biasanya sepi dan sekarang banyak orang yang berjaga. Putri mendengarkan dengan seksama saat bapaknya Gemintang itu menceritakan kegaduhan yang terjadi siang tadi.
Gemintang yang hendak masuk ke studio terpaku ketika dia tidak sengaja mendengar pembicaraan bapaknya dan Putri. Gemintang masuk dan menghela napas panjang. Hilmawan dan Putri menoleh namun Gemintang melihat bapaknya segera kembali pada kesibukannya.
"Pak, kok ga nelpon aku?"
"Buat apa? Ga ada urusanmu lagi sama mereka bangsawan Pananggalih itu."
Putri menggeleng ke arah Gemintang yang menunjukkan gestur kesal, marah dan khawatir menjadi satu.
"Kalau Mas Galih melukai Bapak gimana Pak? Itu maksudku."
"Bapak langsung nelpon polisi kok. Cecunguk satu itu bolak balik ke sana itu..."
Gemintang mengikuti arah tatapan dan telunjuk bapaknya. Pohon gayam di kebun kosong tetangga yang saat malam hari gelap gulita. Penakut akan berjalan lebih cepat saat melewati jalan itu apalagi ketika musim bunga gayam berguguran dan menimbulkan wangi yang menusuk hidung. Wangi yang konon katanya wangi membawa aroma mistis.
"...wong edan itu seharian tadi sudah tak terhitung bolak balik ke bawah pohon itu dan mengira bapakmu ini buta dan tidak menyadari dia ada di sana."
"Pak. Seharusnya bapak nelpon aku."
"Terus mau apa kamu kalau bapak nelpon kamu, nduk? Heh? Mau apa?"
Gemintang hanya sanggup menghela napas pelan. Dia jelas khawatir kalau sampai bapaknya kenapa-kenapa. Galih bisa saja menerobos dan melukai bapaknya. Tapi sekarang bapaknya terlihat santai saja.
"Polisi bawa Mas Galih kemana Pak?"
"Mbuh. Tadi jadi tontonan orang-orang di sini tapi bapak ga tanya mau dibawa kemana?"
Gemintang melesakkan bokongnya di sebuah kursi di dekat media lukis. Dia memperhatikan bapaknya yang mengukur sebuah kertas untuk membungkus pesanan. Putri yang sejak tadi berdiri dengan raut khawatir kembali menggeleng ke arah Gemintang membuat Gemintang beranjak mengikuti Putri masuk ke rumah.
"Aku mandi dulu Pak."
"Huum. Terus makan."
"Iya."
Putri menyeret Gemintang ke kamarnya.
"Mandi dulu baru kita bicara. Tak bikin teh anget dulu."
"Terimakasih Put."
Putri tidak menjawab. Dia keluar dari kamar dan menutup pintu pelan. Gemintang mandi dengan cepat dan mengganti bajunya dengan baju bersih. Dia membuka jendela kamar dan meraih ponselnya. Gemintang ingin menghubungi Angger setelah berpikir bahwa Angger pasti mengetahui hal itu dan tahu kemana Galih dibawa oleh pihak polisi.
Gemintang tersentak ketika dia tersambung dengan Angger.
"Mas."
"Iya Mi."
"Kita harus ketemu."
"Ada apa Mi?"
"Kita bicara nanti, tapi kita harus ketemu."
KAMU SEDANG MEMBACA
DARI BALIK KELAMBU
Misterio / SuspensoAngger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok keraton. Dan karena keningratannya itu di jidat Angger seakan tertulis kalimat : BUKAN UNTUK GADIS JELATA! Mungkin itu juga yang ada di piki...