"Kita tinggal menunggu satu dokter lagi. Dia sedang mengambil peralatan kita yang tertinggal. Kita akan terbagi dalam tiga kelompok nantinya." Dokter Wicak, dokter yang menjadi pimpinan perjalanan blusukan kali ini berkata dengan tenang. Aura memimpin yang sangat khas. Suara yang mau maupun tidak, seseorang yang mendengarnya akan merasakan segan. Ini adalah sesi penyambutan dokter yang diperbantukan dan sekaligus perjalanan mereka pertama mereka sebagai tim.
Gemintang berjalan paling belakang. Semua dokter yang berjumlah enam orang nantinya dengan dokter yang tengah mengambil peralatan, akan berada dalam satu mobil dari Dinkes. Langkah mereka tidak terlalu laju karena memang hari masih pagi sekali. Kabut turun terlihat di kejauhan, mengiring satu mobil di depan yang berisi enam orang perawat berjalan lebih dulu. Dokter Wicak terlihat menatap jam di tangannya sembari masuk ke dalam mobil. Gemintang dan yang lain menyusul masuk ke dalam mobil yang lumayan besar itu. Mobil tiga perempat yang di modifikasi sedemikian rupa untuk keperluan operasional dari Dinkes.
Pintu tertutup sedikit kencang membuat Gemintang yang tengah menekuri komputer jinjingnya menoleh.
Seketika itu angin berdesir. Atau hatinya?
"Dokter Angger, ini tisunya. Silahkan."
Dokter Ami yang berada di samping Gemintang mengulurkan sekotak tisu pada Angger.
"Terimakasih Dokter Ami."
Mobil melaju seiring tatapan Gemintang yang luruh kembali menekuri komputer jinjingnya dengan perasaan berkecamuk. Dia merasa dia sedang berhalusinasi. Kalau tidak...berarti yang dilihatnya waktu itu adalah benar sosok Angger. Angger yang sekarang begitu dekat dengannya hanya berselang dokter Ami yang terlihat terpesona dengan Angger hingga berulang kali terlihat mencuri pandang. Angger sendiri terlihat membuka komputer jinjingnya dan semua mulai larut mengisi perjalanan yang akan memakan waktu hampir dua jam itu.
Gemintang menghela napas sepelan mungkin. Menolak menerjemahkan apa rasa hatinya sekarang. Apa yang bisa dirasakan ketika seseorang yang kau puja di sudut hatimu, bersikap seolah kau tak ada? Rasa seperti apa yang kau harapkan? Tentu saja otomatis...hanya sakit.
Sebuah pesan masuk dalam obrolan Instagram yang di buka Gemintang. Seseorang meminta ijin mengirim pesan. Gemintang menekan tombol ijinkan. Mr Pananggalih?
Gemintang bahkan tak kuasa melirik Angger. Dari sekian ratus juta umat manusia di bumi ini, berapa orang yang mempunyai nama Pananggalih? Gemintang membuka pesan dan sedikit beringsut ke ujung tempat duduk.
---Gemintang...---
Hanya itu.
Gemintang menahan napas. Chat masuk lagi.
---Tarik napas, Gemintang---
Gemintang menghembuskan napas.
---Angger...---
Hanya seperti itu. Karena hanya itu yang sanggup ditulis oleh Gemintang.
---Aku kangen sama kamu, Mi...---
Dan ini rasanya aneh. Sakit sekaligus menyenangkan. Dan Gemintang tak sanggup menulis apapun. Dia hanya ingin berbicara pada Angger. Nanti. Itu sifatnya seperti mendesak dan sebuah keharusan.
Suasana dalam mobil lalu sedikit ramai saat dua dokter di kursi belakang riuh membicarakan tentang korban sebuah kecelakaan maut yang mereka tangani beberapa waktu lalu. Gemintang menoleh pada Angger. Tatapan mata mereka bertemu. Berbicara dan bertanya. Tanya yang tidak sanggup terucap. Di mata Gemintang, Angger sedikit berantakan. Hanya saja itu tak mengurangi pesona yang dimilikinya. Angger itu...entahlah...di mata Gemintang, dia itu...pas di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARI BALIK KELAMBU
Mystery / ThrillerAngger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok keraton. Dan karena keningratannya itu di jidat Angger seakan tertulis kalimat : BUKAN UNTUK GADIS JELATA! Mungkin itu juga yang ada di piki...