Minhyun tak tahu sekarang dia berada di neraka bagian mana, tapi yang jelas seluruh siksaan ini nyata. Siksaan batin maupun fisik semuanya nyata. Tubuhnya begitu lelah ia harap tiga om itu segera merasa puas dan melepaskannya minimal dalam keadaan hidup.
Keluar dari mulut buaya kini ia bersiap masuk ke mulut singa yang duduk tampan di depan papan catur yang tak pernah Minhyun sentuh sebelumnya. Postur Haejin yang mengintimidasi saja sudah membuat bulu kudu Minhyun merinding apalagi jika lelaki itu membuka mulutnya.
"Ini permainan yang sangat mudah. Kamu cukup main catur saja sama saya."
"Saya nggak bisa main catur Om."
"Main catur nggak bisa tapi nyakitin hati keponakan saya bisa. Harusnya paling tidak kalo mau nyakitin hati keponakan saya kamu harus punya keterampilan. Seperti bernyawa sembilan misalnya." Deg, jantung Minhyun kembali bergemuruh. Sejak kapan bernyawa banyak bisa dikatakan sebagai keterampilan? Jika seperti itu bukankah artinya kucing di luar sana lebih berketerampilan dibanding manusia.
"Kan jadi masalah kalo misal saya pegang senapan terus dor nyawa kamu ilang. Kalo nyawa kamu sembilankan masih bisa hidup lagi."
"Kalo gitu om jangan pegang senapan. Om bisa kena masalah kalo saya mati."
"Lah masalah apa? Ngubur? Tenang aja kamu nggak bakal dikubur, paling dihanyutin di laut biar kena siksa laut." Terkesan candaan, tapi dengan wajah dingin Haejin siapa yang bisa menyangka itu hanya candaan.
"Sudahlah lupakan soal nyawa kamu yang nggak berharga itu. Ini saya nggak mau ngelepas kamu kalo kamu nggak main catur sama saya."
"Tapi, Om--"
"Tenang aja, kandang toben masih muat kok buat kamu. Iya kan Yeol?" tanya Haejin. Tadi ia disamakan dengan kucing sekarang Minhyun harus bersabar disamakan dengan anjing.
"Dih, Toben juga ogah Bang tinggal bareng dia. Mending sama Lele yang gue beli tadi." Chanyeol memberikan ide yang tak kalah random.
"Gimana kalo yang main temen saya Om, mewakili saya?" Haejin mengangguk, ia cukup percaya diri dengan kemampuannya bermain catur.
"Oke panggil temen kamu." Minhyun menoleh kepada Chanyeol untuk meminta ponselnya untuk menghubungi Seongwoo.
"Hp saya Om buat hubungin temen."
"Temen kamu siapa? Biar dijemput Seojoon." Minhyun menelan ludahnya ia punya banyak prasangka jika Seojoon yang menjemput. Bagaimana jika nanti si bandar uang itu membayar Seongwoo untuk mengkhianatinya? Namun, tak urung Minhyun mengatakan nama Seongwoo.
"Bagus, Seojoon bakal langsung jemput." Minhyun mengangguk.
"Sambil nunggu temen kamu, kamu pasti bosen. Gimana kalo kamu gunting rumput di kebun samping. Udah lumayan tinggi soalnya. Jangan cabut ya, gunting aja." Jikalau Minhyun bisa berbicara jujur ia ingin menolak, tapi ia tak memiliki sembilan nyawa. Jadi, dengan sangat terpaksa dia menyetujuinya.
"Iya Om." Haejin mengangguk puas.
"Chanyeol, ambilin alat yang udah abang siapin."
"Siap mayor jendral." Chanyeol melesat masuk ke dalam dan keluar beberapa saat kemudian dengan alat yang tertidur nyaman di atas bantal kecil seolah itu adalah benda berharga.
"Om, ini nggak salah?" tanya Minhyun dan Haejin tersenyum kecil sambil mengambil barang itu dan diberikan kepada Minhyun.
"Om, ini gunting kuku. Gimana bisa buat gunting rumput."
"Oh ya? Dulu saya bisa bikin musuh celaka pake gunting kuku. Masa nggak bisa buat gunting rumput? Kamu mau saya contohin gimana saya pake gunting kuku buat musuh saya cacat?" tanya Haejin yang lagi-lagi membuat MInhyun bungkam seribu kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Out ✔
Fiksi PenggemarKeinginan Roseanne keluar dari status jomblo harus terkubur saat ketiga omnya ikut campur tangan. "Jadi, kamu mau saya tembak mati atau mundur alon alon?" "Cuma bisa jajanin cimol aja berani deketin Rose, sana pergi! Dateng kalo udah bisa jajan Lamb...