CHAPTER 8

16.6K 1.3K 36
                                    

Waktu menunjukkan pukul 3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu menunjukkan pukul 3.00 am. Langit masih terlihat gelap, ditemani ribuan bintang dan sang dewi malam. Udara pun terasa semakin dingin, membuat semua orang semakin mengeratkan tubuh mereka dengan selimut tebal dan hangat.

Begitu juga dengan para penghuni mansion besar ini. Kondisi mansion ini sangat sepi, hanya ada beberapa bodyguard yang sedang berjaga di setiap sudut ruangan. Ya jelas saja, karena sang tuan rumah masih setia menyelami alam mimpinya.

Disaat semua orang sedang tertidur pulas, berbeda dengan si bungsu yang saat ini tengah menatap langit-langit kamar orang tuanya.

Memang saat Nicholas menggendong Alvian tadi, Alvian terbangun. Namun dirinya tetap menutup kedua matanya seolah-olah memang sedang tidur. Setelah merasa kedua orang tuanya terlelap, Alvian membuka matanya sampai saat ini.

Setelah lama bertempur dengan pikirannya, akhirnya Alvian memutuskan untuk menemui abangnya. Dengan perlahan Alvian bangkit dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Nicholas dan Alya.

Kakinya melangkah pelan menuju kamar sang abang. Pertama Alvian pergi ke kamar Theo, namun ketika sampai di depan pintu kamar Theo dia jadi ragu untuk masuk ke dalam. Jujur saja dia takut jika Theo masih marah dengannya.

Menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Membuka pintu kamar Theo perlahan lalu menutupnya.

Menghampiri Theo yang saat ini tengah tertidur. Mengelus rambut lebat abangnya dengan sangat hati-hati, takut jika Theo terbangun karena ulahnya.

Mendekatkan bibirnya tepat di telinga Theo seraya berbisik pelan, "Vian minta maaf, abang. Jangan marah lama-lama, Vian ga bisa tidur,"

Setelah pintu ditutup oleh Alvian, Theo membuka matanya. Dia tidak tidur, dia hanya menutup matanya. Dia mendengar dengan jelas bisikan adiknya, dan elusan lembut di rambutnya. Mengulas senyum ketika mengetahui jika sang adik juga tidak bisa tidur nyenyak sepertinya.

Beralih ke kamar abang sepupunya, Calvin. Alvian melihat Calvin sedang berada di balkon kamarnya. Berdiri dengan pandangan ke atas, menatap betapa indahnya langit malam, tanpa menyadari ada sosok sang adik di belakangnya.

Dengan ragu Alvian memeluk tubuh Calvin dari belakang. Dapat dia rasakan tubuh Calvin tersentak karena ulahnya.

"Abang, Vian minta maaf," tidak ada respon dari Calvin.

"Maafin Vian, Vian tau Vian salah, maafin Vian ya? Vian cuman lagi takut aja kalau mereka ngambil Vian dari kalian, Vian udah terlanjur nyaman hidup di keluarga ini. Maaf Vian udah bikin abang marah. Lebih baik abang pukul Vian sampai abang puas dari pada abang diem kaya gini hiks, Vian minta maaf hiks bang"

Tangis Alvian pecah begitu saja. Air matanya mengalir deras di pipi berisinya. Isakan yang ditahannya dari tadi keluar begitu kencang.

Calvin menjadi tidak tega mendengar adiknya menangis meraung-raung. Berbalik menghadap Alvian yang saat ini kondisinya sangat memprihatikan. Mata dan hidungnya memerah, air mata yang terus mengalir di pipi bulatnya, sesekali menarik ingusnya yang keluar.

NEW LIFE [ ALVIAN ] - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang