Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Tentu dengan adegan-adegan manja seorang anak dengan keluarga yang sangat menyayanginya. Bahkan jika ditanya sebesar apa rasa sayang anak itu untuk keluarganya, seluas angkasa pun tak bisa untuk menggambarkan rasa sayang itu.
Hari ini adalah hari keberangkatan Alex dan Nicholas ke Kanada. Mereka harusnya sudah terbang dua jam yang lalu, tapi itu harus tertunda karena si bungsu yang tak berhenti menangis sambil memeluk tubuh besar sang ayah. Berbagai cara mereka lakukan untuk membujuknya, namun tak ada satu pun yang berhasil merebut fokusnya.
Wajah menggemaskan itu disembunyikan di perpotongan leher sang ayah yang kini tengah menggendongnya. Air mata yang tak berhenti mengalir deras itu membuat baju Nicholas basah. Bahkan setelan kemeja dan jas mewah yang tadinya begitu rapi kini sudah acak-acakan akibat ulah sang putra. Nicholas tak marah, pakaiannya ini tak ada apa-apanya dibanding dengan sosok yang menangis dalam gendongannya ini.
"Baby, udah ya? Daddy harus berangkat sekarang." Gelengan di leher Nicholas terasa, membuat pria itu menghela napasnya pelan. Dia harus berangkat sekarang, menyelesaikan urusannya di sana dan segera pulang untuk keluarganya.
"Alvian, putra kesayangan Daddy. Liat Daddy dulu, Nak." Kepala yang tadinya bersembunyi itu mendongak ketika suara ayahnya terdengar.
Mata sembab, air mata di mana-mana, kulit wajahnya yang memerah, dan hidung yang sesekali menarik ingusnya agar tak keluar. Sekali lagi mereka harus menahan diri agar tak menerjang sosok menggemaskan itu.
"Daddy harus berangkat sekarang. Eit... Dengerin dulu." Nicholas meletakkan jari telunjuknya ke bibir tipis Alvian ketika pemuda itu hendak memotong ucapannya.
"Daddy akan kembali secepatnya. Daddy akan bekerja keras di sana supaya bisa lebih cepat pulang. Oke, sayang?"
"Gak boleh hik lama-lama. Tiga hari, abis tu Daddy harus pulang."
"Tidak bisa, sayang. Alasan kenapa Daddy dan Opa akan ke sana karena kita ada sebuah acara yang sangat penting. Dan acara itu akan berlangsung lima hari lagi." jelas Nicholas.
"Tapi kenapa berangkat sekarang?" Air mata Alvian kembali terjatuh membasahi pipi mulusnya.
Nicholas mengusap pipi Alvian dengan lembut seolah takut menyakiti putranya. "Kami ada urusan di sana, satu minggu lagi kami pulang. Kamu mau apa? Nanti Daddy belikan."
"Mau Daddy."
"Tunggu ya? Gak akan lama kok, nanti kamu bisa telpon Daddy kapan pun kamu mau."
"Baiklah."
Akhirnya, mereka semua bisa bernapas lega setelah dua jam dibuat kelimpungan akibat Alvian yang tak mengizinkan Nicholas pergi. Untung saja keluarga mereka memiliki pesawat pribadi, jadi tak perlu takut jika terlambat. Berbeda jika melewati penerbangan biasa, sudah dipastikan jika pesawat mereka sudah terbang bebas di atas sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEW LIFE [ ALVIAN ] - END
Fiksi Remaja⚠️ [ TETAP VOTE + COMMENT MESKI SUDAH END ] ⚠️ Seorang anak laki-laki kecil berjalan luntang-lantung di jalanan, tanpa alas kaki ataupun topi yang melindunginya dari sengatan sang mentari. Kaki kecilnya terus melangkah ke depan, meninggalkan jejak r...