CHAPTER 46

2.7K 260 2
                                    

Vote dan komennya kakak!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vote dan komennya kakak!

Happy reading!

****

Lengkungan di bibir Daren semakin tersungging lebar kala maniknya menemukan siluet orang tuanya di depan. Tepat berada beberapa meter dari tempatnya berdiri. Daren rasanya ingin menangis meraung-raung saat ini. Matanya dengan jelas melihat bagaimana lelahnya punggung orang tuanya yang harus berjalan dengan beban di punggung mereka.

Sayup-sayup, Daren mendengar percakapan mereka dari belakang. Tampaknya kedua orang tuanya tak menyadari akan keberadaannya di sini. Daren terus melangkah mengikuti ke mana pun langkah kaki mereka membawa pergi.

"Apa kamu lelah?" Radika menatap penuh khawatir sang istri yang tampak mengusap dahinya yang penuh keringat.

"Lelah sudah pasti, kamu pun pasti merasakannya. Tapi aku tetap harus berusaha, demi kita dan anak kita makan."

"Maafin Mas ya, Sayang. Kamu sama Daren harus hidup susah seperti ini, maafin Mas."

"Sudahlah, tak ada waktu untuk meminta maaf saat ini. Kita harus lebih giat bekerja supaya mendapatkan uang hari ini. Semoga aja bisa beli nasi nanti, walaupun satu bungkus asal kita bisa makan."

Cukup, Daren tak kuat mendengar mereka. Langkah kakinya dia percepat untuk segera sampai ke pelukan sosok ayah dan ibunya. Air mata yang sejak tadi dia tahan, meluncur begitu saja. Membentuk aliran anak sungai yang begitu deras arusnya. Isakan demi isakan mulai terdengar menemani langkah yang diambilnya.

"Yah, Bun."

Kedua paruh baya itu menoleh seketika ketika mendengar suara yang tak asing di telinga mereka. Raut terkejut tak dapat mereka tutupi kala melihat sang anak menangis di hadapan mereka. Sang ibu nampak panik melihatnya. Buru-buru dia letakkan karung yang sedari tadi memberatkan punggungnya.

"Hey, Daren. Ada apa, Nak? Kenapa menangis?"

"Bunda, Ayah, kita sudah tak perlu lagi memulung. Aku udah dapet pekerjaan, aku keterima kerja di cafe."

Amalia menangis bahagia mendengar kabar baik dari anaknya. Hatinya senang bukan main mendengar sang putra tak lagi bekerja memungut sampah di jalanan yang kotor. Tak lagi harus merasakan terik matahari yang sungguh menyengat kulit.

"Benarkah itu?"

"Iya, Yah. Pemilik cafe itu juga baik, beliau memberikan kita sebuah rumah. Ini kuncinya." Daren memperlihatkan kunci yang memang sedari tadi dia genggam erat di tangannya dengan senyum haru.

Amalia memeluk tubuh tinggi putranya dan menangis di sana. Daren tersenyum dan membalas pelukan hangat sang ibu. Ekor matanya melirik ke arah sang ayah yang diam di tempatnya. Sebelah tangannya terbuka, mengisyaratkan untuk sang ayah ikut masuk ke dalam pelukan mereka.

NEW LIFE [ ALVIAN ] - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang