CHAPTER 67

4.4K 334 78
                                    

⚠️ WARNING ⚠️

4000+ words, pelan-pelan aja bacanya.

Happy Reading!

****

Ini sudah lewat tiga hari setelah hasil pemeriksaan itu keluar. Dan terbukti bahwa teh yang diminum Alya benar-benar mengandung racun mematikan yang bisa menyerang sistem syaraf otak hingga mengancam nyawa seseorang. Beruntungnya waktu itu Alya segera mendapatkan penanganan khusus, sehingga racunnya belum menyebar ke seluruh tubuh. Hanya saja, terdapat efek samping dari itu semua. Kelumpuhan sementara.

Alvian masih tak percaya dengan apa yang tertulis dalam selembar kertas berlogo rumah sakit itu. Bagaimana bisa teh herbal buatannya tiba-tiba saja mengandung racun mematikan hingga membuat sang ibu tersayangnya kesakitan. Padahal bahan-bahan yang dia gunakan untuk membuat minuman itu adalah bahan-bahan yang biasa digunakan oleh mereka, dan seharusnya sudah melalui uji keamanan sebelum di bawa masuk ke dalam mansion.

Jika pun ada yang berniat mencelakai Alya, siapa orang itu? Seingat Alvian, ibunya itu tidak memiliki musuh sama sekali. Mungkin hanya pesaing dari bisnis keluarga, tak lebih. Dan orang asing juga tak semudah itu untuk menerobos masuk menembus keamanan yang telah mereka buat. Benar kata Nicholas, ini pasti ulah orang dalam.

Tunggu dulu, kemarin—waktu Alvian membuat minuman itu di dapur, dia ingat jika dia sempat meninggalkan teh itu di meja pantry untuk pergi ke toilet sebentar. Kenapa Alvian tidak terpikirkan dengan ini sejak kemarin-kemarin? Bukankah ada kemungkinan jika pelakunya memanfaatkan waktu itu untuk menuangkan racun ke dalam teh buatannya?

Alvian juga baru teringat jika di setiap sudut mansion dipasangi kamera pengintai. Namun, akses untuk masuk ke dalam ruang keamanan hanya dimiliki oleh Alex dan kedua putranya—Nicholas dan William. Mungkin juga dengan tim keamanan yang dipekerjakan memantau seluruh aktivitas dan keamanan mansion.

Namun, di posisi Alvian yang saat ini cukup menyulitkan untuk masuk ke dalam ruangan itu. Akibat kejadian mengejutkan kemarin, semuanya mendiamkan Alvian. Tak ada satu pun yang sudi berbicara atau bahkan sekadar bertegur sapa. Jangankan menyapa, menatap saja mereka seakan tak sudi. Alvian kesal, namun rasa kecewa lebih mendominasi perasaannya. Keluarganya sama sekali tak ada yang mempercayai dirinya, mereka bahkan sudah mengenalnya selama bertahun-tahun, melebihi keluarga kandungnya sendiri.

Bodohnya, Alvian sama sekali tak menghidupkan ponselnya. Remaja itu seolah menutup seluruh akses untuk menghubunginya dari semua benda elektronik yang bisa dijangkau. Dia bahkan mengurung dirinya di kamar dan tak pernah keluar, tak lupa mengaktifkan mode kedap suara sehingga suara dari luar tak akan terdengar dari dalam, begitu pun sebaliknya. Monitor yang tersambung dengan speaker di kamarnya juga di-non-aktifkan, membuat orang dari luar kesulitan untuk berkomunikasi dengannya. Termasuk Ben yang kini bak orang kesurupan mencari akses untuk bertemu tuan mudanya.

"Astaga, kenapa Alvian tiba-tiba menjadi bodoh begini." Ben rasanya ingin memukulkan kepalanya sendiri ke tembok agar sebuah ide dapat muncul di otaknya. Ingin melompat naik ke atas balkon pun rasanya percuma, Alvian seolah menutup telinganya rapat-rapat dari dunia luar.

Alvian bangkit dari posisi duduk di atas ranjangnya. Dengan sebelah tangan yang sibuk memegang sepotong roti yang tinggal separuh, remaja itu melangkah ke arah sofa. Menghidupkan kembali ponselnya yang mendingin akibat sama sekali tak pernah dia sentuh selama beberapa hari terakhir. Untungnya saja, di kamarnya ada stok roti yang dapat dia gunakan untuk mengisi perut. Otak Alvian masih cukup berguna untuk tak membuat dirinya mati kelaparan di kamar tanpa ada satu orang pun yang tau.

NEW LIFE [ ALVIAN ] - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang