BAB 1

174 17 31
                                    

"APA???!"

Di tengah-tengah kesunyian, saat fajar bahkan belum tampak, Aifa duduk termangu, bersandar di atas tempat tidur. Gadis itu tidak bisa memercayai penglihatannya. Tangannya menggenggam erat ponsel, mata merahnya tak beralih dari layar yang menampilkan sebuah postingan baru di akun instagram Vanessa Zahar, penulis favoritnya. Tidak peduli berapa kali pun dia membaca ulang, tulisan yang tertera pada gambar tidak berubah sedikit pun.

"PO* bukunya bakal dibuka 3 hari lagi?!"

(Singkatan Pre-Order. Dalam dunia perbukuan, digunakan sebagai istilah untuk pemesanan buku sebelum jadwal terbit)

Gadis itu mengacak-acak rambut frustasi. Waktu beliau mengumumkan kalau buku terakhir dari seri Belfry-nya, Azalea's Belfry akan diterbitkan tahun ini, beliau memang bilang kalau jadwal POnya akan diumumkan mendadak, bukan dari jauh-jauh hari. Sejak mendengar kabar itu, Aifa sendiri sangat bersemangat, berapi-api menyiapkan celengan. Tapi ini bahkan baru satu minggu sejak pengumuman itu disampaikan.

Aifa membuka tutup celengan birunya dengan gontai, mengeluarkan beberapa lembar uang lima ribuan, dengan beberapa koin logam perak. Bahkan totalnya tidak sampai setengah dari harga yang ditentukan. Lagi pula, kenapa diposting subuh-subuh begini sih, bikin jantungan aja.

Tubuh Aifa seperti hilang tenaga, merosot ke bawah selimut. Moodnya yang sudah buruk jadi makin parah saja.

Sebenarnya dia bukanlah pejuang PO yang rela begadang malam-malam untuk ngewar untuk mengamankan jatah. Kalau sedang tidak punya uang sekalipun, Aifa tidak masalah harus menahan rasa penasaran berbulan-bulan sebelum bisa membeli buku yang dia idamkan. Bahkan untuk penulis favoritnya sekalipun.

Tapi kali ini berbeda. Sangat berbeda.

Salah satu bonus spesial dalam Pre-Order kali ini adalah acara jumpa khusus dengan sang penulis sendiri.

Vanessa Zahar adalah salah satu penulis populer Indonesia yang terkenal low profile. Beliau tidak pernah memunculkan wajah atau identitas pribadi ke muka publik. Dan tiba-tiba anugerah besar ini jatuh bagaikan bom. Bagaimana mungkin Aifa melewatkan kesempatan emas untuk bertemu muka dengan sang penulis panutan? Walau cuma secara online sih. Sejak pandemi Covid 19 tiga tahun lalu, diskusi buku online tampaknya menjadi lumrah sekarang. Tapi terserahlah. Selama bisa bertemu dan berdiskusi langsung dengan beliau.

Tapi...

Aifa melirik uang yang berceceran di atas kasur. Si uang hanya teronggok lesu, mata pria paruh baya berkopiah di permukaan uang seolah balas melotot, seperti hendak bilang, apa liat-liat? Kau pelototi pun uangnya gak akan bertambah!

Aifa memegangi kening, berusaha mengembalikan akal sehatnya yang sempat geser.

Tidak ingin menderita sendirian, Aifa merepost postingan sumber kegalauannya itu ke instastory dan menumpahkan segala keluh kesahnya, disertai banyak emot tangis.

Tidak berselang lama, ponselnya mulai bergetar, menandakan ada notifikasi pesan yang masuk. Aifa memandangi kotak dmnya, memerhatikan titik biru mulai bermunculan, tanda pesan baru.

Cepet banget, pada kebablasan baca buku kali ya? Aifa meringis sendiri mengingat salah satu penyakit begadang-karena-buku yang banyak diderita para pecinta buku, terutama teman-teman sesama bookstagrammer* termasuk dirinya itu.

*bookstagrammer: istilah untuk orang yang hobi mengunggah soal buku di instagram, atau selebgram dunia perbukuan)

Aifa membuka balasan paling atas, teman dekatnya, yang juga salah satu penderita akut penyakit tersebut.

Juli: Bener banget!!! aku abis marathon-in Red Rising semalaman, mata ngantuk, hati lagi hancur-sehancurnya, dikasih berita beginian. Masa secepet itu sihhh!! Gak lucu!! Tapi gak papa, mas suami abis ambil proyek gede kemarin, dirayu dikit aman:)

Fai: Siapa suruh baca distopia* malam-malam kak. Mana mungkin bisa tidurlah. Eh, tapi kakak enak juga ya, bisa minta uang jajan kapan aja

*Distopia: genre, dimana suatu kelompok masyarakat hidup dalam kehidupan yang tidak diinginkan atau tidak layak atau menakutkan. Contoh: The Hunger Games)

Juli: Mau gimana lagi, aku niatnya mau ngintip dikit, eh keterusan. Btw, jangan tertipu, enaknya cuma pas beginian. Kamu kan masih sama ortu, kenapa gak minta aja?

Fai: Gak mau ngerepotin:)

Seumur hidup, baru kali ini dia merasa iri pada temannya yang sudah menikah itu. Kak Juli tidak pernah memberitahu angka pasti, tapi Aifa yakin sekali umur mereka berjarak 10 tahun, paling sedikit.

Awal percakapan mereka dulu, Aifa selalu awkward berinteraksi dengannya. Kak Juli selalu meyakinkan, lebih tepatnya memaksa Aifa untuk bicara santai saja padanya.

Butuh waktu satu tahun bagi Aifa untuk menyingkirkan semua rasa sungkan dan bersikap kasual saja, sesuai permintaan empunya. Apalagi Kak Juli sendiri sangat gaul. Kalau dia tidak pernah mengunggah foto-foto suami tampannya yang seorang arsitek itu, Aifa akan mengira Kak Juli masih seumuran dengannya, mungkin sedikit lebih tua.

Dering notif membangkitkannya dari lamunan. Pesan balasan dari Kak Juli.

Juli: lagian, kamu kenapa belum tidur juga? Lagi galau-in cowok ya?

Aifa memutar bola mata. Kak Juli dan agenda percintaannya.

Fai: Ngaco!

Juli: Gak asik ah!

Juli: Makanya, jangan pacaran sama buku mulu, jomblo terus kan

Fai: Biarin! Aku jomblo dan aku bangga!

Sebelum Kak Juli lanjut mengoceh, Aifa buru-buru menutup laman percakapan. Ia meringis sendiri melihat rentetan pesan baru dari teman onlinenya yang kepo akut itu.

Setelah ponselnya berhenti bergetar, Aifa kembali ke laman percakapan. Kebanyakan gif-stiker bergerak-gerak, mulai dari kucing imut sampai gambar seorang pria botak bergoyang-goyang. Random banget.

Spam itu ditutup dengan sebaris kalimat saran.

Juli: Kalo lagi gak bisa tidur, coba baca Confession-nya Minato Kanae. Dijamin bikin hati tenang:)

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang