BAB 41

22 3 2
                                        

"And maybe we got lost in translation,

Maybe I asked for too much, 

But maybe this thing was a masterpiece,

Till you tore it all up."

(All Too Well by Taylor Swift)

.

.

"Choose Your Place?" Shafira menelengkan kepala.

Arvi mengangguk, "CYP Event lebih tepatnya."

Ia kemudian menumpukan tangan di atas meja bundar, mengitarkan pandangan pada seluruh anggota LiTe yang hadir pada pertemuan minggu ini. Arvi sudah menegaskan kalau rapat kali ini penting karena menyangkut acara besar resmi pertama LiTe. Kevin -yang sedang duduk di dekat pintu sebenarnya tidak peduli dengan perintah sang ketua, tapi berkat bujukan Shafira dan pesan dari Aifa, ia akhirnya menurut.

Arvi melanjutkan penjelasannya, "Penentuan tempat stand Kultura Fest dan urutan tampil biasanya ditentukan dengan undian. Tapi tahun ini, kita ubah jadi acara CYP, dimana poin perpus jadi penentunya. Sistem poinnya bisa dengan minjam buku sama posting fotonya di medsos. Kelompok dengan total poin tertinggi bisa milih tempat atau urutan tampil duluan,"

"Jumlah anggota tiap kelompok kan beragam. Bukannya kurang adil untuk kelompok yang anggotanya dikit?" Kini, giliran Miranda yang menyahut.

"Kita bisa tentuin batas poin maksimal yang bisa didapat masing-masing kelompok setiap minggu yang disesuaikan dengan statistik seluruh anggota kelompok yang daftar,"

"Tapi gimana cara kita meyakinkan teman-teman yang lain buat setuju? Apalagi Kultura Fest bakal diadain satu setengah bulan lagi. Bisa-bisa mereka marah kalau aturannya kita ubah begitu aja," ujar Shafira, menyuarakan kekhawatirannya.

"Gue udah bicara dengan Pak Darel dan beliau bilang oke asalkan mayoritas murid setuju. Karena itu sebelum ini kita fokus mengurus ketua-ketua divisi. Asalkan kita bisa membuat pemimpinnya setuju, gak akan susah bikin yang lain nurut,"

Shafira mengangguk-angguk paham, "Pantesan. Aku sempet heran dulu, ternyata ini tujuannya,"

Arvi bergumam sejenak, melirik gadis yang duduk diantara Miranda dan Shafira, "Gimana menurutmu, Aifa?"

Aifa yang sejak tadi hanya menyimak melempar anggukan kecil, "Gak masalah. Tapi gimana dengan Divisi Seni? Percuma aja kita dapat persetujuan divisi lain kalo bintang utama Kultura Fest gak setuju kan?"

"Apalagi Zefan," Shafira tidak melanjutkan ucapannya. Semua sudah paham maksud gadis itu.

"Gue akui. Emang itulah penghalang terbesar rencana ini sejak awal. Gue bakal usahain. Untuk sekarang, kita fokus aja untuk persiapannya,"

Pertemuan berakhir 30 menit kemudian. Arvi memperhatikan dalam diam saat Aifa melangkah keluar dari ruang pertemuan sambil menyandang tas. Tanpa ucapan maupun lirikan sekali pun ke arahnya.

Semenjak pertengkaran tempo hari, hubungan mereka berubah drastis. Meski masih mempertahankan interaksi seputar perkembangan perpus, mereka tidak lagi mengobrol secara personal. Sepertinya yang lain juga sadar dengan perubahan ini, menilik tatapan khawatir Shafira, kerutan kening Kevin dan ekspresi heran Miranda. Tapi tidak ada yang bertanya. Kecuali Rafael, tidak ada yang tahu soal alasan perang dingin keduanya. Arvi pun tidak merasa ingin memberi tahu. Ia butuh waktu untuk berpikir dengan kepala dingin.

Arvi mengacak-acak rambut. Bertambah lagi satu masalahnya.

***

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang