BAB 3

91 14 20
                                    

Singkat cerita, hari Senin minggu lalu, Kepala Sekolah SMA Kultura, Pak Darel mengumumkan bahwa sekolah mereka akan membangun tim bernama LiTe, singkatan dari Library Team. Mereka bertugas untuk mengurus dan mengelola perpustakaan sekolah. Kelihatannya beliau sedih melihat betapa rendahnya minat membaca para murid. Aifa bahkan masih ingat waktu beliau bicara dengan berapi-api di atas podium, di tengah matahari yang bersinar terik pukul delapan pagi. Tidak begitu banyak yang memerhatikan pidato tersebut. Apalagi setelah pengumuman pertama beliau yang menggemparkan. Aifa pun hanya tertarik menyimak karena mendengar kata 'perpustakaan'.

Aifa mengangkat wajah, mengembalikan diri dari ingatan seminggu yang lalu itu. Dan cowok yang berdiri di hadapannya ini, Arviano Eltrama adalah nama yang disebutkan Pak Darel sebagai seseorang yang diserahi kehormatan untuk menjabat sebagai pemimpin dalam Library Team tersebut.

Aifa mendengus begitu mengingat deskripsi kelewat dramatis yang digunakan Pak Darel untuk menggambarkan kedudukan itu. Mengingatnya saja sudah membuatnya geli.

"Aifa?"

Panggilan itu membuatnya mengangkat kepala dan menangkap ekspresi bingung Arvi. Ah, dia melamun lagi.

"Maaf, cuma lagi banyak pikiran."

"Aku minta maaf juga, kamu pasti kaget ditawarin tiba-tiba begini."

"Gak juga, gimana juga mau kaget sejak kamu ngelirik-lirik ke arahku terus dari kemaren?"

Aifa memerhatikan ekspresi terkejut Arvi. Dia sebenarnya tidak bermaksud menyindir, tapi karena mereka sudah disini, tidak ada salahnya untuk lebih jujur pada satu sama lain kan? Moodnya juga sedang tidak baik. Matanya berat karena kurang tidur, buku yang harus diulasnya hari ini masih belum selesai juga dibaca. Belum lagi perlakuan dingin Bu Diana. Ditambah juga dengan sikap menyebalkan cowok ini lima hari terakhir. Mulutnya jadi kurang terkontrol.

Si empunya ternyata cukup sadar diri. Dia menggaruk-garuk kepala belakang, terlihat salah tingkah, "Maaf membuatmu gak nyaman. Walau kita udah sekelas sejak kelas sepuluh, tapi kita jarang ngobrol. Aku cuma bingung gimana mau mengajakmu bergabung."

Hening sejenak.

"Jadi?" tanya Arvi lagi.

"Apanya?"

"Kamu bersedia bergabung?"

Aifa mengembangkan senyum terbaiknya, "Nggak."

Arvi sepertinya tidak mengira akan ditolak secara terang-terangan begitu. Matanya sedikit melebar, menampakkan kekagetan. Tapi nada suaranya tidak berubah saat ia lanjut berucap, "Kenapa?"

Aifa memasang raut bersalah sebaik mungkin, "Kayaknya kamu ngira aku sangat suka baca buku karena aku sering datang ke perpus. Kuakui aku memang sedikit tertarik, tapi tidak sampai tahap bersedia bergabung dengan tim khusus yang akan berurusan dengan perpustakaan setiap waktu. Aku pun gak tau banyak soal buku."

Kebohongan yang sangat konyol. Aifa bahkan ingin tertawa saat mengucapkannya, terutama bagian 'punya sedikit ketertarikan' dan 'gak tau banyak soal buku'. Dusta apa yang lebih buruk dari ini? Tapi untuk menolak permintaan Arvi, dia tidak punya pilihan lain.

Aifa pikir Arvi akan menyerah mendengar penolakan yang sangat terus terang itu, mungkin malah tersinggung karena ditolak mentah-mentah. Dia bahkan bersiap untuk beberapa makian. Tapi diluar dugaan, cowok itu justru tersenyum geli. Aifa mengerjap begitu melihatnya, memastikan matanya masih baik-baik saja. Apanya yang lucu?

"Kelihatannya ada sedikit kesalahpahaman disini. Aku mengundangmu bergabung bukan karena kamu itu pengunjung setia perpustakaan."

Aifa mengangkat alis heran, "Lalu?"

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang