Aifa menatap pintu kaca besar berbingkai hitam di depannya dengan gugup. Jemarinya terkepal erat. Sudah tidak terhitung banyaknya ia mengunjungi perpustakaan, tapi baru kali ini rasa cemas menyerangnya. Ditariknya napas dalam-dalam. You'll be okay.
Ia melepas sepatu dan mulai masuk, melangkahkan kaki ke dalam ruangan bernuansa hijau itu. Pandangannya terarah pada meja resepsionis yang kosong. Diam-diam Aifa menghela napas lega. Sepertinya Bu Diana sedang keluar. Baguslah. Setidaknya sumber kecemasannya sudah berkurang satu.
Aifa berjalan menuju ruang pertemuan tim perpus yang terletak di ujung belakang ruang koleksi, tempat dimana ia bertemu Arvi dulu. Gadis itu mendengus. Ia jadi teringat soal Arvi yang terang-terangan menatapnya seharian ini, seolah mewanti-wanti agar Aifa tidak pura-pura lupa soal pertemuan perdananya dan melarikan diri. Tak mau kalah, Aifa balas melempar pandangan sebal pada cowok itu pada jam istirahat tadi. Adu tatap berlangsung selama beberapa detik sampai Arvi dipanggil oleh teman-temannya untuk pergi ke kantin.
Selagi tenggelam dalam pikiran, ia sudah sampai di depan pintu kayu bercat putih itu. Aifa bisa mendengar sayup-sayup percakapan dari balik pintu yang tertutup.
Setelah meneguhkan hati sekali lagi, ia mengangkat tangan, bersiap untuk mengetuk. Tanpa disangka, pintu itu tiba-tiba terbuka dengan cepat.
"Kamu gak boleh ambil lagi nanti. Dasar rakus!"
Seorang gadis berambut sebahu muncul dari balik pintu. Rasa sebal tergambar jelas di raut mukanya. Dari dalam ruangan, suara tawa rendah khas cowok terdengar.
Aifa terkesiap. Refleknya tidak cukup cepat untuk bereaksi terhadap pintu yang berayun dengan cepat. Untungnya, wajahnya tidak sampai mencium daun pintu dengan keras. Akan tetapi, momentum dorongan membuat tubuhnya jatuh terduduk diatas karpet hijau tua.
Gadis yang barusan keluar tadi ikut terperanjat, tidak menduga seseorang akan menjadi korban dari tindakan spontannya. Ia buru-buru menghampiri Aifa yang sibuk mengusap hidung.
"Aduh maaf, aku gak ngira bakal ada orang tadi. Kamu gak papa?" nada suaranya diliputi rasa bersalah yang sungguh-sungguh.
Aifa mengangkat kepala, bertemu pandang dengan gadis itu. Ia kelihatan membawa sebuah toples kosong di tangannya. Ada sisa remah-remah di dalamnya.
"Aifa?"
Yang dipanggil mengerjapkan mata. Aifa mengembalikan fokus pada gadis didepannya, "Kamu kenal aku?"
"Kamu Aifa dari kelas 11-2, kan? Sekelas sama Arvi?" Gadis itu mengulas senyum, "Aku Shafira, kelas 11-3."
Aifa menyambut uluran tangan Shafira, menegakkan tubuh. Ia menepuk-nepuk seragam pelan.
"Kamu gak papa?" Shafira mengulangi pertanyaannya sekali lagi.
Aifa memasang senyum ramah, mengangguk, "Gak papa kok. Gak usah khawatir."
"Siapa diluar, Fir? Arvi?" suara cowok yang tadi tertawa menyahut dari dalam ruangan.
Shafira membalas, "Bukan. Teman sekelasnya." Gadis itu kemudian beralih pada Aifa, kebingungan tergambar jelas di wajahnya, "Aifa ada urusan apa disini? Mau minjam buku kah?"
Saat hendak menjawab, Aifa tiba-tiba merasakan keberadaan seseorang di belakangnya. Reflek, ia membalikkan badan. Sontak saja, dia langsung berhadapan dengan Arvi yang juga sedang menatapnya, melempar senyum kecil. Setelah kontak mata sekilas itu, Arvi mengalihkan pandangannya pada Shafira, menelengkan kepala heran.
"Kalian ngapain berdiri diluar begini?" tanyanya.
"Arvi! Sejak kapan kamu sampai?" ujar Shafira kaget, tidak menduga kemunculan mendadak tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Librarian Mission
Ficção Adolescente"Bergabung dengan tim perpus?" "Ya, dan ini bukan permintaan, tapi kesepakatan. Win-win solution untuk kita berdua." SMA Kultura adalah salah satu SMA swasta populer di Indonesia karena program-programnya yang menarik dan inisiatif baru yang berbeda...