BAB 21

44 5 0
                                        

"Although you haven't realised it yet, your hand is also somebody's support."

(Kasanaru Kage - Heart Grow)

.

.

Shafira jatuh sakit. Dokter bilang butuh istirahat selama 3 hari.

Begitulah isi dari pesan yang dikirimkannya pada Arvi hari Rabu pagi, beberapa hari setelah ia membeberkan masalah di ekskulnya pada Aifa.

Saat Aifa selesai membaca pesan yang penuh penyesalan itu, ia melirik Arvi sekilas. Menilik kerutan samar di keningnya, Aifa yakin keduanya memikirkan hal yang sama.

Masalah ini tak bisa dibiarkan berlarut. Apalagi Shafira yang sekuat itu sampai tumbang—pasti karena kelelahan dan stres, Aifa berani bertaruh.

Mereka sepakat untuk membicarakannya lebih dalam selesai pertemuan hari ini sebelum kembali ke kursi masing-masing dan memulai pelajaran.

Tanpa diduga, selagi Aifa berjalan ringan dari toilet pada jam istirahat, seorang cowok mengadang jalannya. Gadis itu berusaha menekan ekspresi bingungnya, berusaha mengingat-ingat dimana ia pernah berhadapan dengan raut datar, sorot tajam dan perawakan sedang ini. Bau roti yang menguar dari pakaiannya lah yang membangkitkan ingatannya.

"Ada apa ya, David?"

"Gue denger pembicaraan kalian kemaren di ruang belakang P&B." mulainya.

Aifa tidak bisa membaca ekspresinya.

"Dan gue juga tau Shafira libur gara-gara sakit hari ini," berhenti sejenak, "Karena lo teman Shafira, gue berharap lo bisa bantuin Shafira,"

"Kenapa aku?"

"Kalo gak bisa, lo bisa bantu ngomongin ke Arvi. Siapa aja boleh. Gue bersedia kasih bantuan apapun yang lo butuh," balasnya.

Aifa hendak menanyakan kenapa dia segitunya ingin menolong Shafira, tapi ia menelan kata-kata yang sudah di ujung lidah itu. Terlalu personal sepertinya.

Sebagai gantinya, ia mengangguk, "Bakal kuusahain. Tapi aku gak jamin,"

Rasa lega terukir jelas di wajah David. Setelah mengucapkan sepatah terima kasih, ia berjalan pergi. Bersamaan dengan kepergiannya, sebuah pemikiran lahir di benak kutu buku itu.

Hmm, apa ini permulaan dari kemunculan second lead?

.

.

"Arvi, kamu punya kenalan yang dekat sama ketua-ketua divisi gak?" tanya Aifa santai, meluruskan kaki yang kesemutan sehabis pertemuan rutin.

Arvi yang duduk bersandar di bingkai pintu mengangkat alis, "Kamu gak mikir kalo aku dekat sama mereka?"

Respon itu membuat Aifa mendengus, "Kamu kan selalu punya masalah sama orang. Liat aja Kevin sama Bastian. Mana mungkinlah,"

Arvi terkekeh mendengar jawaban pedas itu, "Aifa emang paling paham aku."

Tidak ingin merespon omong kosongnya, Aifa kembali ke topik semula, "Terus gimana? Tau gak?"

Nama yang meluncur dari Arvi berikutnya tidak ia duga sama sekali, "Rafael."

"Serius?"

Arvi mengangguk, "Dia emang agak aneh dan senior pada gak suka tingkahnya. Tapi dia lumayan dekat sama ketua-ketua. Mungkin gegara sikapnya yang masa bodoh,"

Itu informasi yang bagus. Tapi ada masalah lain yang sudah Aifa khawatirkan sejak awal, "Aku gak tau gimana cara yakinin dia."

"Bilang aja langsung. Dia pasti bakal bantu kok,"

Dahi Aifa terlipat, "Kamu percaya diri banget,"

"Percaya aja sama aku sekali ini, oke?"

Kesungguhan yang terselip dari nada santai Arvi membuat Aifa tidak jadi membantah. Walau sering bertingkah mencurigakan, tapi selama berada di pihak yang sama, Arvi adalah sekutu yang bisa diandalkan.

.

.

"Oke,"

Aifa mengerjap. Tidak menduga persetujuan kilat itu. Ia menunduk, menatap Rafael yang masih asik berbaring di balik bayang-bayang. Angin sepoi-sepoi menghembus rambut Aifa. Untungnya cuaca sedang sejuk, jadi panas matahari tidak jadi masalah di atap terbuka seperti ini.

Sebagai siswi taat aturan yang tidak pernah melanggar larangan untuk pergi ke atap, ini pertama kalinya Aifa menginjakkan kaki di ruang terbuka ini. Awalnya ia ragu, tapi karena Arvi bilang Rafael sedang bersantai disana, ia jadi tidak punya pilihan lain. Dan, yah, setelah berdiri langsung disini, Aifa paham kenapa Rafael juga suka tempat ini.

Lupakan soal atap. Begitumendengar respon positif Rafael, Aifa merasa bodoh telah khawatir harus bagaimana ia meyakinkan cowok yang sulit dipahami itu. Ia bahkan sudah membayangkan berbagai skenario Rafael menolaknya dalam 101 bahasa.

Overthinking benar-benar melelahkan. Dan sia-sia

Laju pikirannya terputus begitu Rafael melompat duduk, menguap keras-keras seraya meregangkan lengannya. Ia melirik Aifa yang masih berdiri seperti patung dari sudut mata, "Jadi, apa rencana lo?"

Aifa pun segera menjelaskan rencana yang sudah disusunnya. Ia sebenarnya ingin memberitahu hal ini pada Arvi juga, tapi orangnya sendiri tidak bertanya lebih lanjut. Apalagi Aifa entah kenapa merasa tidak mau kalah darinya. Ego yang tidak masuk akal memang.

Diluar dugaan, Rafael ternyata mendengarkan penjelasannya dengan serius, sesekali mengangguk, "Rencana yang bagus. Besok juga ada pertemuan bulanan ketua divis. Timingnya pas." Ia mengusap dagu perlahan, raut berpikir, "Tapi ada kendala kecil. Kevin juga bakal ada disana."

"Kevin? Gawat kalo gitu. Dia bisa gagalin ini sepenuhnya,"

Saat Aifa mulai mempertimbangkan untuk mendatangi Kevin, Rafael langsung menyahut, "Gak masalah. Biar gue bicara sama dia."

"Oh? Kamu bisa?"

Rafael hanya mengibaskan tangan, beranjak berdiri. Saat berhadapan langsung seperti ini, ternyata cowok itu lebih pendek beberapa senti darinya. Wajahnya yang baby face – sesuatu yang baru disadarinya sekarang, membuatnya tampak jauh lebih muda dari Aifa.

"Kerja keras begini bukan hobi gue, tapi gue gak serendah itu sampai pura-pura lupa sama utang sendiri. Toh, demi Shafira juga,"

Walau tidak begitu paham maksud celotehannya, Aifa berujar, "Shafira?"

"Iya," Rafael menyunggingkan seringai tipis, "Gue fansnya, FYI,"

Another love interest? Shafira sure scores big time!

.

.

Thanks for reading this far!

I'd truly appreciate any kind of respond!

See you in the next chapter!:D

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang