"I'm sure we weren't born in this world to be burdened by things,
because it is filled with just so much to be embraced."
(Eden by Aqua Timez)
.
.
"Lo gak bilang UNO!!" tunjuk Natya, menyeringai penuh kemenangan. Ia bahkan melompat berdiri dari kursi saking bersemangatnya. Lawannya mengacak rambut frustasi, menyadari kesalahannya.
"Sialan, gue lupa!!" ujarnya sambil mengambil kartu dari tumpukan di atas meja.
"Rasain! Makanya jangan sok dulu sebelum menang!"
Aifa menoleh, ekspresi terganggu jelas-jelas tergambar di wajahnya, "Berisik. Gak liat orang lagi belajar disini?" desisnya pada Natya sebal.
Cewek itu hanya nyengir tidak bersalah, menurut dan kembali duduk. Ia lalu melanjutkan permainan kartunya dengan antusias.
Aifa hanya menggeleng-geleng, berbalik menghadap Kaila yang duduk disampingnya.
"Maaf soal gangguannya. Natya emang gak bisa baca suasana."
Kaila menggeleng cepat, "Gak papa kok. Kalian akrab banget ya. Gimana kalian awal mulai temenan?"
"Gak ada yang spesial. Kami cuma kebetulan duduk sebangku pas baru masuk SMA, terus ngalir begitu aja." jawab Aifa, tidak tertarik menambahkan detail. "Kita lanjutin belajarnya?"
Begitu Kaila balas mengangguk, Aifa melanjutkan penjelasannya yang tertunda, "Jadi, tinggal tambah aja to be, ganti verbnya jadi bentuk ketiga. Sering-sering latihan aja, nanti bakal lengket sendiri kok." ujar Aifa, menunjuk buku tulis. Kaila mencatat perkataan gurunya itu baik-baik.
"Coba kerjain-"
"Arvi? Kenapa disini?"
Perkataan Aifa refleks terhenti sejenak, sebelum ia kembali meneruskannya, seolah tidak terganggu dengan kemunculan cowok yang tidak diharapkan itu. Gadis itu bahkan tidak mengangkat kepalanya sama sekali.
"Kerjain soal-soal ini."
Kaila sepertinya masih belum lepas dari keterkejutannya, membuat Aifa berdeham untuk mengembalikannya ke realita.
Gadis berambut lurus sebahu itu mengerjap, kemudian menyengir sambil menggaruk-garuk kepala, "Sori. Gue agak kaget aja."
"Kenapa kaget?"
"Yah, soalnya dia tiba-tiba muncu-"
"Dia siapa?"
Ucapan Kaila terputus saat menyadari senyum Aifa yang entah kenapa terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Membuat gadis itu sontak mengatupkan bibir, memilih fokus pada tugasnya saja. Arvi yang duduk santai di depan meja mereka hanya terkekeh melihat Aifa yang menganggapnya bagai udara, tidak peduli sama sekali pada suasana canggung yang telah diciptakannya.
Latihannya selesai dalam 10 menit. Kaila sepertinya ingin cepat-cepat menyingkir dari Arvi yang senyum-senyum sendiri memerhatikan mereka dan Aifa yang raut mukanya makin menggelap. Kaila tidak pernah melihat mereka bersama sebelumnya, tapi insting menyuruhnya untuk angkat kaki sesegera mungkin.
Setelah kepergian Kaila, Arvi tetap pada posisinya, ganti memerhatikan Aifa yang fokus pada tugasnya sendiri. Lima belas menit berlalu, desah napas lelah meluncur dari bibir Aifa. Menyerah, ia akhirnya mengangkat kepala, melempar pandangan terusik yang sangat kentara pada cowok di hadapannya ini.
"Ngapain kamu disini? Gabut bener."
"Aku kan pingin belajar juga sama Aifa."
Nada sok manisnya itu membuat Aifa nyaris memutar bola mata, "Kenapa peringkat satu di kelas mau belajar sama aku?"
Arvi hanya balas menggeleng-geleng, seolah gadis itu melontarkan pertanyaan paling bodoh sedunia, "Aduh Aifa. Kamu gak tau? Mengajari sesama itu bisa bikin pelajaran lebih nempel lho."
Aifa mendengus, letih dengan omong kosongnya. Saat gadis itu tengah memikirkan cara untuk menyingkirkan Arvi dari hadapannya, sang sumber masalah malah meletakkan sekaleng kopi hitam diatas meja, membuat Aifa mengerutkan dahi heran.
"Karena kemaren kamu bilang gak suka jus apel."
"Kenapa kopi hitam?"
"Siapa tau kamu suka pahit."
"Aku gak suka."
"Terus sukanya apa?"
"Kepo."
Masih dengan tangan dipenuhi kartu UNO, Natya tiba-tiba menyahut, "Aifa sukanya cokelat dingin."
Serentak, kepala mereka berputar ke arah gadis itu dengan ekspresi yang berbanding terbalik. Mata Aifa memelotot tidak percaya, sementara Arvi menatapnya dengan pandangan berbinar.
"Natya emang sobat gue."
"Iya dong. Apa yang enggak buat penyelamat gue?"
Mereka berdua kompak berhigh five. Aifa mengusap dahinya yang terasa pening. Satu saja sudah sulit, mereka malah bergabung. Aifa tidak pernah menduga kalau kombinasi dari dua tetangganya ini akan jadi mimpi buruk baginya.
Setelah puas melempar salam pertemanan dengan sobat barunya, Arvi mengembalikan fokus pada Aifa yang masih sibuk merenungi nasibnya yang sial, "Sebenarnya aku kesini mau ngasih tau kalo koleksi baru perpus bakal sampai hari Rabu ini."
Kenapa gak bilang dari tadi? Ngerusuh mulu!
Itulah yang hendak Aifa teriakkan, tapi ia menahan diri saat otaknya berhasil mencerna perkataan cowok itu baik-baik, "Minggu ini? Cepet banget." Padahal belum sampai seminggu sejak Aifa menyerahkan daftar buku rekomendasinya itu.
Arvi mengangkat bahu, "Begitu aku laporin ke Pak Adrian, beliau langsung approve. Emang niat banget."
.
.
Halo teman-teman. Chapter yang ini emang jauh lebih pendek dari sebelum-sebelumnya ya. Yang biasanya sekitar 2000 kata, jadi 600-an.
Aku ingin lebih rajin lagi update cerita ini, tapi gak sempat ngedit panjang-panjang. Jadi seberapa adanya aja.
Semoga tetap enjoy ya:D
KAMU SEDANG MEMBACA
The Librarian Mission
Teen Fiction"Bergabung dengan tim perpus?" "Ya, dan ini bukan permintaan, tapi kesepakatan. Win-win solution untuk kita berdua." SMA Kultura adalah salah satu SMA swasta populer di Indonesia karena program-programnya yang menarik dan inisiatif baru yang berbeda...