"Because those words of yours that I can't forget are still resounding, even now."
(Tracing That Dream by Yoasobi)
.
.
Arvi menumpukan dagunya di atas telapak tangan, sikunya bertumpu diatas meja. Aifa duduk dihadapannya, sibuk membalik-balik buku. Saat ini, mereka sedang duduk berhadapan di warung nasi goreng kecil tepi jalan di seberang mal. Waktu tadi memutuskan mau makan dimana, Aifa menyarankan warung ini karena harganya murah daripada restoran cepat saji yang tepat berada di depan Gramedia. Arvi melirik kantong belanjaan besar Aifa yang penuh dengan buku, menyindir sekilas, "Buat buku rela keluar banyak, tapi kalo makan perhitungan banget,"
Aifa hanya balas menjulurkan lidah, "Ini namanya prioritas,"
Alhasil, disinilah mereka, duduk berhadapan di meja dekat jendela, menunggu pesanan. Walau warungnya kecil, kebersihannya tampak terjaga. Selain mereka, hanya ada seorang pria paruh baya yang menyesap kopi di belakang Arvi serta kakek-kakek yang sibuk berbincang dengan pemilik warung di konter.
Setelah beberapa saat, Aifa menaruh bukunya di atas meja, mengangkat kepala. Pandangan keduanya bertemu. Raut Aifa masam, menyalak sebal, "Ngapain liat-liat?"
Arvi menumpukan pipi di atas telapak tangan, mengulas senyum terbaiknya, "Kamu cantik,"
Sontak, tedengar suara tersedak, disusul batuk-batuk di balik punggung Arvi.
Ekspresi Aifa nyaris tidak berubah. Gadis itu hanya melempar pandangan tidak tertarik, lalu kembali pada buku, "Makasih,"
Arvi mengangkat alis, jelas tidak menduga reaksi sedatar itu, "Flat banget reaksinya,"
Aifa membuka plastik satu buku berkover kuning, mendekatkannya ke hidung dan menghirupnya dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada masa bodoh, "Bukan cuma kamu yang pernah bilang begitu,"
"Jadi kamu sadar diri kalo kamu cantik?"
Aifa mengangkat bahu, "Gimana enggak kalo banyak yang bilang gitu. Aku juga punya cermin di rumah kali,"
Arvi menghela napas dengan gaya berlebihan, "Yah, padahal aku pingin liat Aifa malu-malu. Sayang banget,"
Arvi memundurkan tubuh, bersandar di punggung kursi. Tatapannya kembali fokus pada gadis yang kini sibuk menenggak milo dingin.
"Tapi beneran lho. Kamu gak begitu menonjol di kelas, tapi kalo diperhatiin baik-baik, aku berani bilang kamu masuk top 5 di sekolah untuk ukuran penampilan. Sekelas Melissa atau Irsha deh. Dua rius,"
Aifa hanya meraih gelas air putih, menyesapnya pelan, "Gak ada gunanya juga good looking kalo cuma punya itu doang. Kemampuan, presence dan attitude lebih penting-"
Arvi sontak menyela, "Bukan cuma fisik kok. Kamu emang selalu jaga jarak sama orang lain, tapi kalo kenal lebih dekat, kamu juga punya banyak kualitas baik. Selalu mau ngajarin temen yang sulit belajar, rela ngerepotin diri sendiri demi nyelesaiin masalah, berusaha mahamin perasaan orang lain meski-"
Ucapan Arvi terhenti saat sebuah buku mendarat pelan di wajahnya. Cowok itu tersentak saat buku itu tidak beranjak dari mukanya, "Aifa?"
"Diem. Jangan ngomong,"
Arvi terdiam saat mengenali nada frustasi yang asing dari suara gadis itu. Sebuah kesadaran tiba-tiba menghantam, mengejutkannya, "Aifa, kamu... salting?"
Tidak ada balasan, tapi tekanan buku yang semakin keras sudah cukup untuk menjawab pertanyaannya. Aifa bersumpah, walau wajahnya terhalang buku, ia seolah bisa melihat seringai penuh kemenangan Arvi saat cowok itu kembali bicara, "Heh, bukannya kamu bilang udah kebal dipuji?"

KAMU SEDANG MEMBACA
The Librarian Mission
Teen Fiction"Bergabung dengan tim perpus?" "Ya, dan ini bukan permintaan, tapi kesepakatan. Win-win solution untuk kita berdua." SMA Kultura adalah salah satu SMA swasta populer di Indonesia karena program-programnya yang menarik dan inisiatif baru yang berbeda...