BAB 44

8 2 0
                                    

"If you can't say it, hold my hand tight and don't let go. 

I want you to know that you're not alone anymore."

(Heart Realize by supercell)

.

.

"Arvi! Apa-apaan lo?!!"

Tanpa mengangkat kepala dari layar laptop, Arvi bisa mengenali suara melengking partner in crime-nya itu dengan mudah.

Dengan nada rendah, cowok itu berujar datar, "Pertama kali ke perpus lo langsung ribut-ribut. Untung Bu Diana lagi gak disini,"

"Peduli setan!!" bentaknya. Nada apatis Arvi membuat amarahnya makin menggelegak. Natya melangkah masuk ke dalam ruang pertemuan dan sampai di hadapan Arvi dalam sekejap.

"Apa yang terjadi sebenernya?! Kenapa Aifa dikeluarin?!"

"Bukannya lo selalu up to date sama gosip? Gak denger beritanya apa?" balas Arvi, tidak terpengaruh dengan reaksi emosional lawan bicaranya itu.

Melihat respon acuh itu, Natya sontak menggertakkan gigi. Ia maju selangkah dan mencengkram kerah seragam Arvi, menghantamnya ke dinding. Selain ringisan kecil, Arvi nyaris tidak mengeluarkan reaksi yang signifikan dari perlakuan kasar tersebut, hanya menatap Natya dengan raut yang sulit dibaca.

Memperkuat genggaman, Natya kembali menyentak, "Dan lo santai-santai aja disini?! Aifa dituduh gitu dan lo gak ngelakuin apa-apa?!!" Kalau tatapan bisa membunuh, Arvi pasti sudah habis saat ini.

"Semua ini keputusan Aifa,"

"Tetap aja-"

Keduanya terdiam dalam keheningan yang mencekam. Setelah beradu pandangan menusuk, Natya akhirnya melepaskan cengkraman sambil mendecih, beranjak berdiri. Arvi meluruskan punggung, merapikan kancing kerahnya yang nyaris terlepas. Bisa didengarnya gema langkah Natya yang mulai menjauh.

Namun, sebelum sampai di bingkai pintu, ia bergumam. Tidak terlalu keras, cukup untuk didengar Arvi. Nadanya lemah, tidak ada energi meletup seperti biasanya.

"Gue bersedia bantu lo buat deketin Aifa gara-gara gue percaya sama lo. Gue mungkin keliatan kayak cewek bucin bego, tapi gue gak bakal main-main soal siapa yang gue percaya buat deket sama sahabat gue,"

Ia mengakhiri kalimat sarat emosi ini dengan desisan, "Gue kecewa, Arvi."

.

.

Aifa duduk bertopang dagu di gazebo. Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi. Ia memutuskan untuk menenangkan diri di sini, menyusun pikirannya yang campur aduk.

Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian itu. Ia menghela napas berat saat mengingat pandangan dingin dan bisik-bisik setiap kali ia memasuki kelas. Berita pengeluarannya sudah diumumkan di grup angkatan pada hari yang sama, membuat rumor makin menggila. Aifa tidak tahu sudah seliar apa gosip yang muncul saat ini, dan ia juga tidak mau tahu. Tidak ada yang mengajaknya bicara di kelas. Hanya Natya yang terus-terusan meminta penjelasan darinya, yang Aifa selalu hindari. Cukup sulit meminta Natya untuk tenang dan tidak mengomeli setiap orang yang melirik-lirik Aifa.

Ini lebih berat dari dugaanku.

Kenangan lama melintas di benaknya, membuat gadis itu menghela napas berat. Jadi ingat yang enggak-enggak.

"Kamu disini?"

Aifa tidak perlu berbalik. Ia sudah sangat familiar dengan suara itu. Begitu mendengar deritan kayu serta merasakan keberadaan yang sangat dikenalinya itu mengambil tempat di sebelahnya, Aifa spontan berujar dengan seringai ganjil.

"Kamu perhatian banget sama anggota yang udah dikeluarin,"

Arvi mengangkat sebelah alis, "Tumben kamu nyari masalah dulu?"

Aifa reflek mengatupkan diri, tidak sekalipun menoleh kea rah cowok itu. Ia pun juga tidak mengerti. Mungkin, rasa frustasi yang sangat membuatnya menjadikan Arvi sebagai tempat pelampiasan. Apapun itu, ia sedang tidak dalam mood untuk menjaga persona murid teladan.

"Mungkin aku berubah pikiran. Bikin masalah kayaknya menarik,"

Arvi menyipitkan mata, "You're stressed."

Kekehan pelan meluncur dari bibir Aifa, "Emang kamu pikir aku harus gimana? Bahagia dan ketawa-ketawa aja gitu?"

Arvi mengistirahatkan lengannya di atas lutut. Tatapannya tidak lepas dari Aifa, "Padahal kamu keliatan keren banget kemaren. Jadi cuma segini aja?" nada suaranya seperti mengejek. Tanpa melirik pun, Aifa tahu ia sedang memasang seringai memuakkan andalannya itu.

Tidak terpancing provokasi, Aifa akhirnya menatap Arvi tepat di manik mata, "Kamu kesal karena aku gak nurutin kata-kata kamu waktu itu?"

Mereka bertatapan selama beberapa detik, sebelum Aifa memutus kontak. Arvi masih menatapnya lamat-lamat, kemudian menghela napas, "Sedikit. Kamu marah aku gak bicara sama kamu beberapa hari ini?"

Aifa mengangkat bahu, "Orang-orang bisa berprasangka macam-macam kalo ketua LiTe masih punya hubungan baik sama anggota yang dikeluarkan gak hormat. Itu pilihan yang masuk akal,"

Arvi tertawa hambar, "Sori, aku lupa kamu itu realistis banget. Aku kira kamu bakal marah-marah, nganggap aku lupain kamu, terus cari cowok lain buat balas dendam,"

Aifa memutar bola mata, "Drama banget."

Hening sejenak.

"Jadi, kamu baik-baik aja?"

"Menurutmu?"

"Seharusnya enggak."

"Tuh tau."

"Kamu keliatan terlalu santai untuk ukuran orang yang gak baik-baik aja."

"Terus, kamu mau aku nangis, teriak-teriak gitu?"

"Iya."

"Maaf gak memenuhi ekspektasimu."

"Harusnya kamu tau mendam perasaan sendiri itu gak sehat kan?"

"Kenapa aku harus nangis di depan kamu?"

"Harus aku sebutin lagi alasannya?"

Aifa reflek terdiam. Memori pertengkaran mereka kembali melintas di benaknya.

Ia segera mengganti arus pembicaraan, "Gimana keadaan LiTe?"

Arvi tidak berkomentar akan pengalihan topik yang jelas sekali itu, hanya menjawab lurus, "Gloomy. Shafira gak banyak bicara, Kevin gak pernah datang lagi, Miranda tetap dingin, walau sekarang makin beku, Rafael makin jarang keliatan. Kelihatannya kamu udah ninggalin banyak kesan buat mereka, sampai banyak yang galau."

Kamu gimana?

Aifa menahan diri agar pertanyaan itu tidak terucap. Hubungan mereka sudah sangat berlumpur saat ini. Ia tidak perlu membuatnya lebih rumit. Aifa hanya bergumam kecil sebagai balasan.

Hening. Hanya menikmati angin yang berhembus lembut, seolah ingin menenangkan hati mereka yang gundah.

Arvi yang pertama bangkit. Ia berbalik sebelum menuruni tangga, terlihat ragu, "Kalau ada apa-apa, ingat a- kami masih disini."

Menghimpun seluruh energi yang masih tersisa, Aifa melempar senyum kecil sebagai jawaban. Setelah Arvi berlalu pergi, senyumnya hilang seketika.

Kamu gak tau.

***

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang