"Your heart is strained as you take everything upon yourself.
It seems to be broken already."
(Kasanaru Kage by Heart Grow)
.
.
Saat mereka melewati ekskul P&B, seorang cewek berjalan sambil membawa baki. Aifa bergegas bergeser agar tidak menabrak, tapi siswi tersebut tampaknya terlalu fokus bergosip dengan teman di sebelahnya. Alhasil...
Aifa meringis kecil saat bahu mereka saling bersinggungan. Perhatian para pengunjung lain langsung tertuju pada insiden tersebut, mulai berbisik-bisik. Di lantai, baki hitam beserta kue-kue di atasnya sudah berhamburan, hancur berantakan.
Tidak terima, cewek itu langsung menghardik Aifa, "Lo kalo jalan liat-liat dong!"
Arvi mendengus. Bahkan anak TK pun tahu kalau mereka yang tidak memperhatikan jalan. Tapi respon Aifa membuat cowok itu langsung tertegun.
Dengan senyum penuh penyesalan, Aifa berujar, "Maaf. Lain kali aku lebih hati-hati. Kuenya biar aku ganti. Berapa harganya?"
Arvi sontak membelalakkan mata, menatap gadis itu tidak percaya, "Aifa-"
Tapi dia tidak dapat menyelesaikan ucapannya, karena cewek penabrak itu langsung menyela, "50 ribu,"
Arvi reflek mencela dalam hati, memperhatikan noda kue di lantai. Mana mungkin. Paling gak lebih dari 20 ribu.
Tapi Aifa sudah lebih dulu merogoh saku dan menyerahkan uang, "Sekali lagi maaf ya,"
Si cewek merebut uang tersebut, kemudian berjalan berlalu. Aifa berjongkok, membersihkan baki dan kue di lantai yang ditinggalkan begitu saja oleh empunya. Arvi hendak menyergah cewek itu, tapi tatapan tajam Aifa menghentikannya. Dengan berat hati, Arvi menurutinya.
Tapi bukan berarti ia akan membiarkan tingkah Aifa ini berlalu begitu saja.
.
.
"Aifa, kamu gak berpikir mau ngebela diri?"
Pertanyaan bernada serius ini langsung terlontar dari bibir Arvi begitu mereka mencapai ruang pertemuan LiTe.
Aifa mengangkat alis, "Aku gak dibully, Arvi."
Arvi tidak mundur. Harus ada orang yang menekankan fakta ini pada gadis itu.
"Kamu jelas-jelas gak salah tadi. Kenapa bersikap lagaknya pelaku?"
"Untuk apa? Aku gak suka manjangin masalah." Jawab Aifa, seolah itu adalah kenyataan paling normal dalam hidupnya.
"Memperpanjang masalah? Atau melarikan diri dari masalah?"
Pandangan Aifa seketika menggelap. Arvi menelan ludah. Ia sudah masuk teritori yang berbahaya, tapi ia tidak akan berhenti begitu saja, "Kamu seharusnya ngebela dirimu sendiri,"
"Apa yang harus kubela kalo gak ada hakku yang direbut?" balas Aifa dingin.
"Sekalipun kamu salah, kenapa diam aja waktu dia minta ganti 50 ribu? Kamu pasti sadar kan kalo kue-kue yang jatuh tadi gak semahal itu,"
"Masalahnya bakal selesai lebih cepat kalau aku turutin aja. Aku gak keberatan kok,"
Frustasi dengan sikap defensif tersebut, Arvi mengacak rambut frustasi, "Dan disitulah letak salahnya. Kamu memandang dirimu terlalu rendah. Kamu berpikir kamu layak diperlakukan seperti itu. Kalau dirimu sendiri gak seberharga itu,"
Sepertinya serangannya tepat sasaran. Postur Aifa menegang. Mulutnya terbuka, kemudian dikatupkan lagi, kesulitan membalas.
Arvi menghela napas dalam benak. Hari ini luar biasa. Ia bisa melihat berbagai sisi dari Aifa yang langka. Ekspresi masa bodoh Aifa yang menerima ajakan jalan-jalannya. Ekspresi canggung Aifa saat memberinya hadiah. Ekspresi pasrah Aifa saat dimaki oleh cewek penabrak tadi. Ekspresi Aifa yang dipenuhi kefrustasian dan amarah yang diredam. Ekspresi yang ia sukai, sekaligus yang membuatnya frustasi.
Kenapa dia tidak paham juga? Dia jauh lebih berharga dari perkiraannya. Kenapa dia mudah sekali menundukkan kepala dan menanggung kesalahan yang sama sekali bukan tanggung jawabnya? Persetan dengan tidak memperpanjang masalah! Kalau itu bisa membuatnya lebih peduli pada dirinya sendiri, Arvi rela terlibat masalah setiap hari.
"Kenapa kamu peduli? Ini bukan urusanmu," bisiknya lemah, mengalihkan pandangan.
"Aku bilang begini karena aku peduli, Aifa." ujar Arvi lambat-lambat, menjaga nada suaranya agar tetap terdengar lembut.
Dengan intonasi yang mulai meninggi, Aifa mendesis, "Kenapa kamu malah ngebesar-besarin masalah?"
Arvi sigap membalas, "Mungkin hari ini cuma perkara kue, tapi gimana kalo masalahnya nanti lebih serius dari ini? Kamu masih mau mengorbankan diri?"
Aifa terlihat ingin membantah, tapi gadis itu tidak dapat mengeluarkan suara. Itulah yang Arvi takutkan. Ia takut Aifa akan terbiasa menyalahkan dirinya sendiri, rela menjadi pihak yang dirugikan. Seperti kasus dengan Bu Diana waktu itu. Aifa memang selalu tampak tenang, tapi bukan berarti ia tidak punya emosi. Gadis itu hanya sangat bagus dalam mengontrol apa yang terlihat. Tapi emosi itu kuat. Ada saatnya emosi bisa menghancurkan seseorang. Terutama orang seperti Aifa yang terbiasa menekan perasaannya kuat-kuat.
Aifa menggertakkan gigi, menyergah, "Aku gak pernah minta bantuanmu! Emang kenapa kalau aku berbuat begini? Ini gak ada hubungannya denganmu!"
Aah, kenapa disaat seperti ini dia sangat keras kepala?!
"Aku capek ngeliat kamu ngerendahin diri kayak gini terus!"
"Terus kenapa? Cuma aku satu-satunya yang rugi disini. Kenapa kamu ikutan emosi?!"
"Karena aku suka kamu!"
Kalimat itu meluncur keluar begitu saja. Frustasi, emosi dan lelah campur aduk dalam diri Arvi, membuat adrenalinnya melompat begitu saja. Ia menggertakkan gigi, tidak peduli lagi. Tatapannya lurus pada lawan bicaranya yang spontan membeku.
Aifa menatapnya dengan raut tidak percaya. Kepala tertunduk tanpa tenaga.
"Di saat kayak gini, kamu gak bisa bilang begitu aja," nadanya lirih, nyaris seperti berbisik.
Tanpa menunggu respon, Aifa langsung keluar dari ruang pertemuan. Ia bahkan tidak melihat Rafael yang berdiri di dekat pintu ruang pertemuan.
Ia melihat ke dalam, mengusap leher saat bertemu pandang dengan Arvi, "Timing gue jelek banget,"
Arvi menghempaskan diri di atas karpet, mengerang pelan.
"Kenapa lo bilang begitu? Emang lo pikir ini momen buat nembak?" tanya Rafael tanpa basa-basi.
Jawaban Arvi singkat. "Soalnya dia keras kepala,"
Rafael bersiul, "Jadi lo bikin dia diem dengan confess? Ekstrim juga,"
Arvi memutar bola mata, "Gue cuma pengen dia lebih menghargai dirinya sendiri,"
Sejenak, tidak ada yang menyahut. Arvi menutup wajah dengan lengan atas, "Lo pikir gue salah?"
Rafael bersandar di bingkai pintu, "Menurut gue, omongan lo gak salah. Tapi gue yakin dia sendiri udah tau masalahnya. Cuma waktu lo ngejelasin itu tepat di depan mukanya, dia jadi defensif. Dia mau melindungi ego dan prinsip rapuh yang dipegangnya. Kalo dia nerima apa yang lo bilang begitu aja, maka apapun yang menopangnya selama ini bakal hancur dan dia harus keluar dari zona amannya sendiri. Apalagi kalian sama-sama emosi. Gak ada perdebatan yang berakhir baik setelah emosi terlibat,"
Tidak ada respon. Rafael menggaruk belakang kepala, "Jadi kedepannya lo mau gimana?"
***
Akhirnyaa!!
Turning point yang memulai klimaks dari cerita ini.
Please prepare yourself.
From here, it all goes down hill.
![](https://img.wattpad.com/cover/285659234-288-k289430.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Librarian Mission
Teen Fiction"Bergabung dengan tim perpus?" "Ya, dan ini bukan permintaan, tapi kesepakatan. Win-win solution untuk kita berdua." SMA Kultura adalah salah satu SMA swasta populer di Indonesia karena program-programnya yang menarik dan inisiatif baru yang berbeda...