BAB 20

47 4 0
                                    

"In these unchanging monochrome days, you're the one that added colors to it."

(Tiny Light by Kito Akari)

.

.

"Jadi? Kamu pernah bikin salah apa sama Zefan? Pergi minta maaf sana,"

Kekehan khas Arvi berkumandang. Punggungnya disandarkan ke dinding kayu gazebo, "Aduh, Aifa. Segitu gak percayanya kamu sama aku?"

"Cuma bicara dari pengalaman," balas gadis itu acuh, memperhatikan berbagai foto buku yang barusan mereka ambil.

Tadi setelah bel pulang berdentang, Arvi menangkap sosoknya yang berjalan ke arah gazebo. Tak sulit ditebak, dia langsung memaksa untuk ikut. Setelah memberinya tendangan di betis, Aifa membiarkan cowok itu mengekorinya sambil menggerutu.

Sesudah menyelesaikan sesi foto hari ini, jadilah mereka duduk bersama di atas karpet tipis gazebo yang teduh sambil berbincang (baca: berdebat) ringan, ditemani dua gelas puding dari P&B yang barusan Aifa beli.

"Terus? Kamu beneran ada masalah sama Zefan?"

Arvi mengangguk kecil sebagai balasan, "Begitulah. Kami emang punya sejarah sendiri,"

Saat hendak menanyakan perihal 'sejarah' itu lebih lanjut, Aifa langsung menutup mulut melihat ekspresi rumit yang terlukis di wajah Arvi. Ia memilih menanyakan hal lain, "Kenapa kamu tau kalo Zefan terlibat dalam masalah Shafira? Maksudku, kamu nyuruh aku pergi selidikin karena curiga soal itu kan?"

"Aku udah nanya ke Shafira langsung sebelumnya. Tapi dia selalu menghindar. Jadi kukira ada hal yang lebih serius terjadi. Aku minta kamu yang selidiki supaya Shafira lebih mudah terbuka. Toh, kalian sesame cewek juga. Soal keterlibatan Zefan, itu cuma firasat. Aku sempat berharap dugaanku salah, tapi ternyata aku yang terlalu naif,"

Aifa mangut-mangut, menyendok puding cokelatnya, "Jadi gimana? Kamu oke kalo Shafira keluar?"

Arvi memainkan sendok plastik di jemari, "Kalo jujur sih enggak. Shafira satu-satunya harapan LiTe buat promosi. Diantara kita berenam, cuma dia mampu. Apalagi kalau dia sampai keluar, tim kita bakal runtuh,"

"Runtuh? Gak ekstrim banget pilihan katanya?"

"Itu kenyataan kok. Bisa dibilang, Shafira-lah alasan utama aku berhasil ngajak Kevin, Rafael, sama Miranda buat gabung,"

Penjelasan itu jelas mengejutkan Aifa. Kalau Kevin dia paham. Tapi Rafael dan Miranda juga? Memang the power of Shafira tidak boleh diremehkan.

Arvi melanjutkan, "Tapi dalam situasi kayak ini, aku gak bakal larang kalo dia mau keluar. Walau sebenarnya ad acara yang lebih baik untuk nyelesaiin masalah ini. Manfaatnya juga jangka panjang." Arvi melempar pandangan penuh arti pada Aifa.

Aifa menghela napas, paham maksudnya, "Aku udah bilang ke Shafira. Lebih baik laporin aja mereka langsung ke guru, baik yang korupsi sama ketuanya itu. Tapi kamu taulah Shafira gimana. Dia terlalu baik jadi orang,"

"Kenapa gak kamu bilang kalo menjaga hubungan toxic kayak gitu gak akan berakhir baik. Lebih baik diputus aja sekalian,"

"Aku yakin Shafira pun paham itu," Hembusan napas frustasi meluncur dari bibirnya, "Tapi paham gak sama dengan bisa ngelakuin. Gak semudah itu ngubah pola pikir yang udah ditanam sejak lama,"

Aifa mengerjapkan mata, seperti kaget akan sesuatu, "Kukira kamu gak begitu suka Shafira."

"Kenapa?"

"Kamu benci damsel in distress kan?"

"Satu, manusia dan tokoh fiksi itu beda. Dua, manusia itu kompleks. Tiga, aku menghormati orang baik," ujar Aifa lugas.

"Gak kusangka. Aku kira kamu itu orang edgy yang mikir kalo semua orang baik itu munafik,"

Aifa menyeringai tipis, "Aku gak nyangka kamu ngerti aku segitunya," sarkasnya.

"Hehe, makasih."

Siapa yang muji, sialan!

Aifa merubah postur duduk, meniru pose santai Arvi, "Orang baik emang gak ada. Yang ada itu orang yang berusaha jadi orang baik. Dan aku apresiasi itu. Karena jadi orang baik itu gak mudah. Orang jahat buat satu kebaikan bakal disanjung setinggi langit. Tapi kalo orang baik ngelakuin satu kesalahan aja, langsung dipanggil munafik. Tapi sejak awal, aku emang gak suka istilah 'baik' atau 'jahat'. Dunia gak sehitam putih itu,"

Aifa menarik napas. Tanpa sadar ia malah kebablasan menerangkan pemikiran yang selama ini hanya disimpannya dalam hati. Pandangan penuh perhatian yang hangat dari Arvi di seberang juga tidak membantu sama sekali.

Aifa tiba-tiba merinding begitu menyadari kenyamanan yang hadir tiap kali menghabiskan waktu bersama cowok tengil itu. Membuatnya berani mengeluarkan isi hatinya tanpa sadar.

Untungnya, suasana aneh di antara mereka segera terpecah saat Bu Diana muncul dari balik jendela ruang pertemuan yang terbuka, memanggil Arvi untuk membicarakan soal pojok literasi atau semacamnya. Aifa tidak memperhatikan lebih lanjut, sibuk mengendalikan perasaannya yang bergemuruh dalam dada.

"Aku pergi dulu. Nanti kita lanjut,"

Aifa mengangguk cepat, berharap cowok itu segera menyingkir. Tapi tentu saja. Bukan Arvi namanya kalau tidak membuatnya repot.

"Aifa,"

Terpaksa, ia mengangkat wajah, menatap Arvi tepat di manik mata. Ia tiba-tiba bersyukur dengan posisi duduknya. Kakinya tidak akan kuat menopang tubuh kalau dihadapkan dengan tatapan intens dari netra hitam cemerlang itu.

"Banyak-banyakin ngomong kayak gini. Aku suka liat Aifa yang semangat. Terutama kalo lagi sama aku,"

Setelah melempar seutas senyum lembut, Arvi membalikkan tubuh, menuruni tangga gazebo ringan.

Meninggalkan Aifa yang termangu di balik punggung berseragam putihnya. 

.

.

.

Gimana bab kali ini? 

Manis gak? 

Rencana awalnya sih bab ini cuma bakal berisi percakapan serius Arvi dan Aifa soal permasalahan Shafira. Tapi selagi nulis, aku nyadar kalo Aifa ngomong panjang juga, jadinya kepikiran buat nambahin bagian akhirnya yang penuh gula. 

Aku pribadi hati-hati banget kalo nulis adegan romantis. Soalnya batas antara romantis dan cringe itu tipis banget. Semoga aja ini dosisnya pas ya:D

Thanks for reading this far. 

See you in the next chapter!

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang