"If we can make even the darkness shine, it will become a starry sky."
(Hikaru Nara by Goose House)
.
.
Sesuai janjinya, Aifa mengunjungi ekskul Pattisier & Bakery keesokannya. Ia bisa melihat banyak murid yang berkerumun di depan etalase kaca. Kata Natya, P&B itu salah satu ekskul paling tua dan juga populer di Kultura. Mereka biasa menyediakan snack dalam acara sekolah, acara amal, dan semacamnya. Level pengelolaan yang profesional, jauh di atas level ekskul SMA biasanya.
Di dalam dan luar ruangan, ada beberapa kursi dan meja bulat yang juga dipenuhi pengunjung. Mesin pendingin minuman dan box es krim berada di kiri etalase kaca yang berisikan bermacam makanan kecil. Cookies, macaron, dan kue-kue kecil lain yang Aifa tidak tahu namanya.
Aifa mendekati konter, tepatnya ke arah pada siswi berkuncir kuda penjaga kasir, "Permisi, ada Shafira gak?"
Siswi itu mengangkat kepala, menampilkan senyum ramah seraya mengangguk, "Kak Shafira ada di dalam kak. Kayaknya lagi bicara dengan ketua. Tunggu sebentar ya,"
Seraya menunggu, Aifa pun memutuskan untuk membeli beberapa kue yang sudah menarik perhatiannya dari tadi. Setelah membayar, ia menuju salah satu meja kosong di dekat pendingin minuman. Aifa bergumam puas setelah memakan sepotong brownies panggang. Hmm, enak banget.
Saat ia sibuk menikmati makanan, gerakan tangannya terhenti begitu menyadari keberadaan cowok ber-earphone putih di meja seberangnya.
Rafael? Ngapain dia disini?
Tidak menyadari keterkejutan Aifa, Rafael terus lanjut menyendok es krim stoberi dalam gelas jumpo di depannya sambil menggulir layar ponsel dengan raut bosan. Aifa mengerjap saat Rafael tiba-tiba mengangkat mata. Pandangan mereka berada. Aifa reflek mengalihkan mata. Tatapannya dingin. Aifa merasa seperti habis diguyur air es.
"Aifa?"
Yang dipanggil langsung mengangkat kepala, diam-diam mensyukuri timing kedatangan Shafira yang mengembangkan senyum. Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama. Kening Aifa berkerut samar begitu menyadari ada yang berbeda dari raut gadis itu. Matanya sedikit sayu. Sudut bibir yang lebih rendah dari biasanya.
"Tumben kamu kesini? Ada perlu apa? Apa ada masalah di perpus?" tanyanya. Nada suaranya bahkan terasa lebih riang dari biasanya, seperti dipaksakan.
Kelihatannya naluri Arvi tepat.
Mengangkat bahu, Aifa membalas ringan, "Emangnya aku harus bawa masalah setiap mau ketemu?"
"Eh, bukan begitu maksudku-"
Aifa melanjutkan, "Arvi bilang kue disini enak, makanya aku mau nyoba." Ia menunjuk kursi di depannya, menyodorkan piring kue, "Ambil aja. Mumpung aku lagi dermawan,"
Shafira mengerjap-ngerjap, kemudian duduk sambil tertawa kecil. Ketegangan yang Aifa dapati sebelumnya sedikit mencair, membuatnya ikut menyunggingkan senyum kecil.
"Kamu bicara seolah belum pernah kesini aja. Kan kita udah kelas 11,"
"Jangan remehkan level ke-ansos-an aku ya,"
Shafira terkekeh, "Oh, maaf kalo gitu. Kayaknya ekspektasiku ketinggian buat Aifa," balasnya.
Percakapan mengalir mulus, berpindah dari satu topik ke lainnya. Di tengah pembicaraan tentang menu terbaru yang diusulkan Shafira di P&B, Aifa menyadari tatapan sinis dari beberapa siswi di balik punggung Shafira yang bercerita antusias. Mereka berbisik-bisik, sesekali menunjuk meja mereka, lalu tertawa pada satu sama lain. Aifa memperhatikan dalam diam, memberi anggukan sebagai respon untuk lawan bicaranya.
Kelihatannya ia sudah menemukan petunjuk pertama.
.
.
"Apa dia tiap hari kesini?"
Shafira mengikuti arah tatapan Aifa yang terarah pada Rafael yang kali ini duduk di sebelah meja mereka, "Rafael? Dia emang lumayan sering datang ke sini sih, sekali seminggu. Tapi rasanya baru kali ini dia datang tiap hari kayak gini,"
Aifa ber-oh ria. Sejak Kamis minggu lalu, sudah empat hari Aifa datang berkunjung ke P&B. Kalau Shafira bingung dengan maksud kedatangan rutinnya, ia tidak pernah menunjukkannya. Setiap kali Shafira melihatnya memasuki ruangan, gadis itu selalu menyambut dengan hangat. Terkadang ia terlalu sibuk sehingga hanya bisa menyapa sekilas sebelum kembali ke dapur di balik pintu bercat putih di belakang kasir. Kalau sedang luang, mereka biasanya mengobrol ditemani manisan. Seperti saat ini.
"Kamu mau masuk sekolah pattissier?"
Shafira mengangguk, menggenggam mug jus jeruk di jemarinya, "Itu impianku. Enggak mudah sih. Ibuku oke, tapi ayahku gak setuju, lebih pingin aku masuk manajemen atau hukum aja. Tiap kali aku mau bicarain topik ini, mereka berdua pasti bakal berdebat. Aku gak enak juga bikin adikku takut. Jadi aku gak pernah bicarain lagi,"
Keheningan menyelimuti mereka. Setelah beberapa saat, Shafira mengangkat wajah, mengalihkan pembicaraan, "Kalo Aifa? Pengen jadi penulis?"
Aifa mengangkat sebelah alis, "Karena aku suka baca?"
Begitu Shafira mengangguk, Aifa langsung menjawab, "Dulu waktu kecil, aku suka banget bikin cerpen, berangan-angan bisa diterbitin di majalah Bobo atau jadi buku KKPK. Tapi sekarang ini, aku sadar kalo aku lebih suka baca aja. Bukan berarti aku gak mau terbitin buku sih, tapi itu bukan prioritas ataupun cita-citaku untuk saat."
Shafira tampak terkejut, mangut-mangut, "Selama ini, teman-temanku yang suka baca selalu pengen jadi penulis, jadi kukira Aifa juga,"
"Yah, itu anggapan yang umum sih,"
"Kalo gitu, Aifa ada impian?"
Aifa menyesap sisa susu cokelat di gelasnya, "Enggak juga. Selama bisa hidup santai dan ekonomi stabil, aku oke-oke aja. Rencananya sih aku mau fokus di ekonomi atau bisnis. Spesifiknya aku belum tau,"
Shafira tampak tenggelam dalam pemikirannya selama beberapa saat, kemudian bertanya dengan nada kecil, "Menurut Aifa, aku sebaiknya perjuangin mimpiku atau enggak?"
"Entahlah. Kita gak pernah tau masa depan bakal kayak apa. Hidup untuk mengejar mimpi memang terdengar ideal, tapi realita gak sebaik itu,"
Jawaban lugas itu membuat Shafira menjatuhkan pandangan pada riaknya di permukaan jus, bergejolak seperti perasaannya.
"Tapi, menurutku, punya impian itu luar biasa,"
Mendengar hal itu, Shafira sontak mengangkat kepala. Tatapannya penuh ingin tahu dengan kelanjutan ucapan Aifa.
"Aku sangat menghormati orang yang tetap bisa bertahan dengan pandangannya meski diragukan orang lain. Kedua setelah orang yang selalu berusaha berbuat baik meski dikatain bermuka dua. Kayak kamu,"
Aifa tersenyum lembut melihat kabut yang mulai muncul di mata bulat Shafira.
Sesekali muji orang lain dan bikin mereka bahagia...
Gak buruk juga.
.
.
Thanks for reading this far into my story!
Aku seneng akhirnya bisa nulis bonding pertemanan Aifa dan Shafira lebih dalam, sekaligus mengeksplor karakter mereka.
Semoga teman-teman enjoy chapter ini ya.
See you in the next one!
![](https://img.wattpad.com/cover/285659234-288-k289430.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Librarian Mission
Novela Juvenil"Bergabung dengan tim perpus?" "Ya, dan ini bukan permintaan, tapi kesepakatan. Win-win solution untuk kita berdua." SMA Kultura adalah salah satu SMA swasta populer di Indonesia karena program-programnya yang menarik dan inisiatif baru yang berbeda...