BAB 35

35 4 0
                                    

"I didn't do anything wrong. That's what I tell myself."

(Adam and Eve by Yuuri)

.

.

Aifa menyandarkan punggung di sebelah jendela ruang pertemuan LiTe yang tertutup. Setelah terlibat perkara Yordan, akhirnya ia sampai juga di destinasi tujuan. Kelopak matanya perlahan-lahan menurun, diserang kantuk. Fokusnya terarah pada bunyi-bunyi yang masih tertangkap telinga. Deru angin sepoi-sepoi. Kicauan burung samar. Besi yang berderit pelan. Derap yang teredam ilalang. Sayup-sayup silabel bernada rendah.

Masih dengan mata terkatup rapat, Aifa tidak bergerak dari posisinya. Terdiam lama. Ia bahkan tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu saat akhirnya bisa mengembuskan napas yang sedari tadi ditahannya. Pandangannya kosong, tanpa emosi yang kentara.

Aku bener-bener gak bisa istirahat hari ini.

Getar notifikasi dari ponsel-lah yang membangkitkan gadis itu dari lamunan. Dari Natya.

Lo masih di sekolah fa? Temen gue udah dsini. Langsung di kelas aja.

Setelah berpikir sejenak, Aifa pun beranjak berdiri dan melangkah keluar. Toh, dia tidak bisa tidur juga.

.

.

"Nat?"

"Hmm?"

"Kamu bukannya bilang mau ngenalin aku sama temannya temanmu yang temannya teman begitu kemaren?"

"Iya sih-"

Aifa menatapnya dengan raut sebal, berbisik dengan nada rendah yang sama, "Terus kenapa malah pihak yang terlibat langsung yang kamu bawa?!"

Natya mengikuti lirikan sekilas Aifa, yang mengarah pada gadis berambut twintail di hadapan mereka. Ia meringis kecil, "Yah, lo bilang kan mau tau kejadiannya? Mending langsung sama orangnya gitu. Biar lebih akurat,"

"Gak usah bisik-bisik juga kali," decih Cherry, kemudian mengetuk-ngetuk lengannya dengan jari telunjuk, lelah menunggu.

Pandangan penuh selidiknya kini terarah pada Aifa, "Lo bukannya temennya Irsha? Ngapain lo mau nanya ini sama gue? Lo pasti udah denger cerita dari dia kan?"

Meski gugup di bawah tatapan intens tersebut, Aifa menguatkan diri dan menjawab, "Aku juga ingin tahu dari sisi kamu. Biar bisa menilai masalah dengan lebih objektif,"

Cherry mengangkat sebelah alis. Setelah beberapa detik yang mencekam – bagi Aifa, gadis itu akhirnya menurunkan tangan yang dilipatnya di depan dada, "Oke. Toh, gue juga gak niat nyembunyinnya. Makin banyak yang tau, makin bagus. Biar tau rasa cewek sok itu," dengusnya.

"Tapi sebelum itu, biar gue tegasin. Gue emang naksir Yordan, tapi gue gak serendah itu sampai ngincar cowok yang udah punya pacar. Gue masih ada harga diri kali," 

Setelah menegaskan itu, Cherry melanjutkan, "Waktu itu tim basket baru selesai latihan dan pergi ganti baju. Gue sama cewek itu kebetulan duduk di tribun yang sama. Gue lagi nungguin temen dan males juga pindah, jadi gue tetap di sana aja. Terus entah kenapa, dia tiba-tiba bilang 'apa lo gak punya malu? Masih aja ngarepin Yordan? Dasar murahan'"

Cherry melepaskan kepalan tangannya, menghela napas untuk mengatur emosi. Setelah lebih tenang, ia melanjutkan, "Gue gelap mata. Gue cengkram kerah bajunya sambil marah-marah. Dia langsung nangis. Tepat waktu itu, Yordan sama timnya keluar dari ruang ganti. Dia langsung lari ke tempat kami, narik cewek itu ngejauh, terus teriak ke gue. Belum pernah gue liat dia semarah itu sebelumnya. Waktu ngeliat senyum cewek itu di belakang Yordan, gue baru sadar kalau dia sengaja mancing gue. Dia pasti tau berapa lama biasanya Yordan ganti baju. Begitu waktunya pas, langsung dilakuinnya. Bikin gue jadi penjahat dalam ceritanya," dengus Cherry jijik.

Aifa mangut-mangut paham.

"Udah puas?" yang dibalas dengan anggukan dan ucapan terima kasih.

Setelah Cherry pergi, Aifa beralih pada Natya yang sedari tadi menyimak, "Gimana? Kamu pikir dia jujur?"

Natya mengangguk sekilas, "Gue udah ngerasa ada yang aneh sih pas denger gosipnya. Irsha? Dibully?" ia mendengus, "Dia aja pernah ngajak berantem senior ekskulnya sendiri. Gak mungkin banget,"

Sambil mencerna semua informasi yang diterimanya dan menyusun kepingan dari memori, Aifa teringat bagaimana pasifnya Irsha menanggapi perlakuan antagonistik Cherry terhadap dirinya tempo hari. Rasa bersalah yang terbesit di mimik wajahnya kini bisa ia mengerti. Ingatan lain ikut muncul dalam benak, membuat Aifa mematung. Ia menggaruk kepala. Tidak sepenuhnya yakin, tapi kemungkinannya ada. Ia pun mengeluarkan ponsel, mengirimkan pesan singkat.

"Terus? Lo sebenernya lagi ngapain, Fa?" tanya Natya.

Aifa hanya mengibaskan tangan, "Bukan urusanmu,"

Natya berdecak, "Udah ditolongin, begini sikap lo? Gak tau terima kasih banget,"

Sebelum omelannya makin memanjang, Aifa menyerahkan sepotong kertas kecil pada Natya, yang diterimanya dengan alis terangkat. Tertulis beberapa deretan angka dengan singkatan yang tidak ia pahami di sana.

"Semua ID gamenya Ethan. Puas?"

Mata Natya langsung menyala, seketika lupa akan kemarahannya. Ia menatap Aifa bagaikan gadis itu baru saja memberinya tiket lotre kemenangan. Sebelum sempat dipeluk dan dicium-cium oleh Natya yang kegirangan, Aifa buru-buru melarikan diri.

***

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang