"But there are certain things that won't heal over time."
(My Sea by IU)
.
.
Dahi Aifa terlipat. Jemarinya menggenggam buku kuat-kuat. Tahan, tahan.
Kalau saja ini kamarnya sendiri, ia bisa berteriak frustasi dan melempar bukunya ke atas kasur, tapi sayangnya kenyataan berkata lain. Saat ini, ia berada di ruang pertemuan, menunggu pertemuan rutin untuk dimulai. Dan seperti biasa, Arvi juga ada disini, berkutat dengan rubik di tangannya. Bunyi tak-tak bergema pelan, mengisi keheningan. Aifa tidak boleh memperlihatkan ekspresi anehnya lagi dan memberi cowok sialan itu amunisi tambahan untuk menggodanya.
"Bukunya gak bagus?"
Aifa menghela napas berat. Arvi dan kepekaan supernya.
Menyerah, Aifa mengangkat bahu, "Begitulah."
Arvi meletakkan rubiknya di pangkuan, fokus sepenuhnya pada Aifa, "Kenapa?"
"Female leadnya damsel in distress."
"Cewek yang cuma bergantung sama cowok, gak bisa berdiri sendiri?"
Aifa mengangguk, "Tiap ada apa-apa, dia cuma nangis, sampai ditolongin cowoknya. Udah 200 halaman, gitu mulu polanya. Kenapa harus gitu coba?!" Tanpa sadar, nada suaranya meninggi, emosinya kembali bergejolak.
Arvi tergelak. Respon itu membuat Aifa mendengus. Seneng banget dia liat orang stress.
"Terus kenapa terus kamu baca?" tanya Arvi lagi.
"Soalnya ini buku kerjasama untuk review." Aifa menghembuskan napas berat, "Padahal dari blurbnya keliatan aman."
"Kalo kamu se-nggak suka itu, gimana nulis reviewnya?"
"Jujur aja." jawab Aifa lugas, "Aku gak mau bohong demi nyenengin penulisnya. Toh, kritik yang membangun lebih berguna buat mereka. Cuma ya tetap sopan dan objektif. Gak peduli seburuk apapun ceritanya, nulis novel sampai tamat itu gak mudah. Paling enggak, aku harus menghargai usahanya."
"Nice thought,"
"I know,"
Percakapan mereka terputus begitu Miranda memasuki ruangan, "Maaf, aku telat," ujarnya.
Aifa melirik jam di seberangnya. Pukul 15.15.
Arvi mengibaskan tangan, "Gak masalah. Lo kan udah ijin tadi,"
Rafael datang 15 menit kemudian. Ia mengerutkan dahi begitu sampai di bingkai pintu, "Lo pada belum mulai?"
Respon yang masuk akal. Rapat biasanya sudah berjalan beberapa menit sebelum kedatangannya.
Arvi yang sedang mendiskusikan sesuatu dengan Miranda menjawab, "Shafira belum dateng."
"Lagi? Minggu kemaren juga begitu kan?"
Arvi mengiyakan.
Puas bertanya, Rafael pun melangkah ke sudut favoritnya, tidak lupa membawa toples camilan dari meja. Terkadang, Aifa berpikir kalau satu-satunya alasan kenapa Rafael rutin datang ke pertemuan meski nyaris tidak pernah ikut bersuara adalah karena camilan kebanggaan Shafira itu.
15 menit lagi berlalu dan batang hidung Shafira masih belum nampak juga. Saat Arvi hendak mengusulkan untuk menjemputnya, yang ditunggu akhirnya datang juga dengan napas terengah-engah.
"Maaf, teman-teman. Aku telat lagi," sahut Shafira. Rasa bersalah terdengar jelas dari nada suaranya.
"Langsung duduk aja Fir, kita langsung mulai," ujar Arvi, meluruskan punggung, bersiap memulai rapat.
.
.
"Aku minta maaf sekali lagi. Ekskulku lagi sibuk banget belakangan ini. Jadinya-"
Arvi menenangkan Shafira yang terlihat siap untuk membungkuk dalam, "Gak masalah kok. Gue tau kalian pasti sibuk juga. Gue yang harusnya berterima kasih. Meski lagi banyak kerjaan, lo udah nyempatin dateng,"
Setelah membungkuk beberapa kali lagi, Shafira langsung pergi, bilang kalau dia masih ada urusan. Sosok mungil menghilang dalam sekejap mata. Aifa hanya memperhatikan seraya mempertanyakan kapasitas energi gadis itu. Bahkan Melissa yang punya teman tiap tikungan pun gak sesibuk itu.
Melissa dan Rafael juga sudah keluar dari perpustakaan, meninggalkannya berdua dengan Arvi.
"Aifa, besok beliin aku puding dong. Rasa mangga ya,"
Aifa merengut, tidak paham dengan permintaan mendadak itu, "Hah? Maksudnya?"
Tidak menghiraukan pertanyaannya, Arvi menyodorkan uang 20 ribuan, "Kembaliannya ambil aja. Beli di ekskul PB ya,"
Aifa menahan diri untuk tidak melayangkan tinju, melipat tangan di depan dada, "Kenapa tiba-tiba?" ia menyipitkan mata, "Agenda sketchy kamu lagi?"
Arvi hanya menyeringai, "Curigaan banget. Segitu gak percayanya? Ah, hatiku terluka,"
Aifa memutar bola mata mendengar nada dramatis cowok itu, "Kalo kamu cuma mau bicara omong kosong, aku pergi,"
Arvi bergegas menyahut, menghentikan Aifa yang hendak berbalik, "Bentar. Aku serius,"
Berdecak pelan, Aifa tidak jadi berbalik, menatap Arvi dengan raut sebal.
Paham kalau Aifa sudah nyaris kehabisan kesabaran, Arvi mulai menjelaskan, "Aku mau kamu menyelidiki soal penyebab yang bikin Shafira telat dua minggu ini,"
"Bukannya gara-gara urusan ekskul? Emangnya ada hal lain?"
Arvi terdiam sejenak, mengalihkan pandangan pada meja bundar. Aifa mengerjap. Ini pertama kalinya ia melihat ekspresi rumit terlukis di raut cowok super santai itu.
"Mungkin. Kalau dugaanku bener, ini bakal jadi merepotkan,"
Aifa menunggu Arvi melanjutkan, tapi hanya keheningan berat yang mengisi ruangan.
Setelah beberapa saat, Aifa menghela napas. Ia merebut uang yang tadi disodorkan Arvi, "Jangan berharap banyak. Aku bukan Miss Marple,"
Arvi mengerjap melihat perubahan sikap itu, lalu mengulas senyum, "Makasih Aifa,"
"Jadi, ekskul Shafira itu apa?"
"Inget gak, apa yang selalu dibawa Shafira kesini?"
"Kue? Camilan?"
Arvi mengangguk, "Shafira itu anggota ekskul Patissier & Bakery, singkatnya PB,"
.
.
Chapter ini adalah pembukaan dari arc Ekskul Patissier & Bakery.
Jadi, yap!
Shafira bakal jadi fokus utamanya kali ini. Aku harap teman-teman enjoy ya!
See you in the next chapter!:D
KAMU SEDANG MEMBACA
The Librarian Mission
Teen Fiction"Bergabung dengan tim perpus?" "Ya, dan ini bukan permintaan, tapi kesepakatan. Win-win solution untuk kita berdua." SMA Kultura adalah salah satu SMA swasta populer di Indonesia karena program-programnya yang menarik dan inisiatif baru yang berbeda...