BAB 45

7 2 0
                                    

"They said it hurts because it's youth."

(Palette by IU feat. G-Dragon)

.

.

"Untuk tugas minggu depan, kalian akan dibagi menjadi lima kelompok. Silakan pelajari materi masing-masing dan persiapkan slides kalian. Silakan berdiskusi dengan grup masing-masing,"

Aifa menghela napas, bergerak dalam diam di tengah bunyi derit meja dan celotehan murid. Ini adalah saat terburuk untuk kerja kelompok. Dengan situasinya, keberadaannya hanya akan diabaikan. Aifa memperhatikan empat orang anggota kelompoknya. Begitu beradu pandang, sebagian besar langsung mengalihkan pandangan dengan canggung.

Yah, tidak heran. Di saat seperti ini, orang-orang cenderung menarik diri supaya tidak terlibat masalah. Ia sangat paham itu. Aifa sendiri adalah ahlinya dalam menjauhkan diri dari masalah yang tidak perlu. Ia juga tidak menyalahkan mereka. Melawan arus itu menakutkan.

"Jadi untuk pembagian kerjanya..."

Di tengah lamunannya, Aifa jadi mengenang masa lalu. Setahun terakhir ia berusaha keras membentuk imej baik dengan mengambil inisiatif untuk memimpin tugas kelompok dan membantu teman-teman yang kesulitan belajar. Semua itu ia lakukan agar tidak terus menjadi penyendiri yang tidak bisa berbaur di kelas. Ia berusaha keras agar tidak kembali lagi ke masa saat dirinya hanya bisa menunduk, tidak percaya diri.

Bukan berarti tendensi itu sudah hilang tanpa bekas. Hanya saja, dibandingkan masa SMP yang menyiksa karena rasa canggung dalam bergaul dengan pikiran negatif 24/7, masa SMA sudah jauh lebih mendingan.

"Eh, orang dari tadi diskusi. Kok lo diem aja?"

Bentakan itu sontak membuyarkan lamunan Aifa. Ia langsung menunduk saat lirikannya menangkap rasa permusuhan di manik mata siswi yang duduk di sebelah Kaila sambil melipat tangan di depan dada itu.

Dan di saat seperti inilah, orang-orang yang tidak senang terhadapnya akan mulai menyerang. Untuk menghindari inilah, ia berusaha menjaga topeng murid baik-baiknya. Agar tidak ada kelemahannya yang bisa dieksploitasi.

"Gue udah mikir ini dari dulu, tapi lo itu emang sok ya? Gak mau ikut acara kelas, diajakin nolak mulu. Kena karma kan?"

"Wendy!" sergah Kaila, menyadari suasana yang memburuk.

"Apaan? Gue cuma bilang kenyataan kan?" Menatap Kaila, matanya menyipit, "Lo pasti paham juga, Kai,"

Kaila melirik Aifa sekilas dengan canggung, "Udah, kita balik kerjain aja."

Karma, huh?

Mungkin tidak salah juga. Aifa sudah melakukan banyak kesalahan. Cewek apatis yang tidak peduli pada orang lain. Bahkan ia baru tahu nama siswi itu ternyata Wendy.

Pandangannya tak sengaja beradu dengan Arvi yang duduk jauh di seberangnya, dipisahkan oleh meja dan murid. Tatapan manik hitam tak terbaca itu tertuju lurus kepadanya, entah sejak kapan. Aifa mengerjap. Matanya terasa panas.

Ah, gawat.

.

.

Aifa menghela napas. Padahal ini baru hari keempat setelah pengeluarannya dari LiTe. Tubuhnya terasa berat, tanpa energi. Padahal sekolah dibubarkan lebih cepat karena ada rapat umum. Ia merebahkan tubuh di atas lantai gazebo sambil memejamkan mata. Semenjak kejadian itu, ia jadi senang menghabiskan waktu di sini. Kamarnya terlalu sempit dan sesak. Membuat pikirannya terbang kemana-mana. Novel Hawk's Belfry yang sengaja ia bawa untuk dibaca ulang tergeletak begitu saja di sampingnya.

Langkah kaki bisa didengarnya menapak di atas dedaunan kering. Aifa tidak repot-repot membuka mata.

Ketika lantai bambu gazebo berderit, ia membuka mulut, "Apa yang udah kamu dapat?"

"Apanya?" suara bariton itu membalas.

"Hasil penyelidikan. Kamu lagi nyelidikin soal ini kan?"

Terdengar jeda sejenak sebelum ia menjawab, "Pelan, tapi pasti. Sayangnya, dia terlalu rapi dalam bertindak, jadi belum ada bukti konkrit,"

Aifa menarik napas sebelum kembali berujar, "Gimana dengan rat? Udah ketemu?" kalimat itu terasa pahit di ujung lidahnya.

"Aku punya kecurigaan, tapi tetap belum ada bukti," Terdengar bunyi hempasan tubuh di sampingnya, "Kamu gak perlu mikirin itu,"

Alis Aifa berkerut tapi tetap memejam. Matanya pasti akan mengkhianatinya. Apalagi di depan cowok perseptif ini, "Gimana mungkin enggak? Aku juga terlibat disini,"

Helaan napas, "Maksudku, sekarang kamu urus diri sendiri aja dulu,"

"Emangnya aku kenapa?"

Aifa meringis dalam hati saat mendengar desis dan decak sebal dari samping kanannya. Aifa bisa membayangkannya mengacak-acak rambut saking frustasinya. Ia justru kagum cowok itu belum juga mencercanya karena kesal.

Tidak ada respon selang beberapa lama. Satu-satunya alasan kenapa Aifa tahu kalau cowok itu masih berada di sisinya adalah karena deru napasnya yang stabil. Aifa bisa merasakan ketenangan mulai menyusup perlahan ketika berfokus pada tarikan napas itu.

Akhirnya, setelah keheningan yang canggung sekaligus damai, kalimat yang meluncur dari bibir cowok itu tidak Aifa duga, tapi di saat yang sama, ia tidak terkejut.

"Kamu gak perlu berpura-pura terus,"

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang