BAB 2

100 13 48
                                    

"Uh, mataku berat."

Aifa mengusap-usap matanya yang terasa berat. Langkahnya gontai menyusuri koridor, melewati beberapa siswa siswi yang berlalu lalang. Ia susah payah menjaga ekspresi, menahan kantuk yang berusaha menerobos.

Gadis itu menggerutu, teringat 'saran' Kak Juli tadi pagi. Kenapa dia bodoh sekali, menurut begitu saja? Mana mungkin Kak Juli mau memberi saran tulus setelah diabaikan begitu aja? Sekarang, dia harus menderita kantuk berat karena begadang membaca buku yang direkomendasikan itu.

Apanya yang bikin hati tenang? Yang ada bikin begadang tau! gerutunya dalam hati.

Sebagian ini adalah salahnya juga sih, tidak membaca blurb sebelum mulai membaca. Banyak orang merekomendasikan buku ini, jadi dia sengaja tidak membaca deskripsi dulu. Lebih seru kalau memulai tanpa ekspektasi apa-apa, kan? Tapi rencananya itu malah jadi senjata makan tuan, membantu melancarkan rencana licik Kak Juli.

Sejujurnya novel itu gak buruk sama sekali. Bahkan, Aifa berani bilang kalau Confession adalah salah satu novel thriller terbaik yang pernah dibacanya. Mungkin ia akan bersujud penuh syukur pada Kak Juli yang telah merekomendasikannya.

Kalau saja buku itu tidak membuatnya terjaga semalaman seperti ini. Mungkin inilah yang disebut dengan buku bagus di waktu yang tidak tepat.

Lain kali, aku harus baca blurb dulu sebelum baca buku, terutama kalo direkomendasiin kakak jahil itu.

Sambil membuat sumpah dalam hati, ia sudah sampai di depan kelas.

"Pagi, Aifa. Baru datang ya?" Kaila, salah satu teman sekelasnya menyapa ramah.

Aifa tersenyum sopan seraya mengangguk, sedang tidak bersemangat berbasa-basi. Aifa melangkahkan kaki memasuki ruang kelas bercat biru putih itu. Ruangan itu sudah penuh dengan murid, hiruk pikuk obrolan dan tawa.

Aifa melirik jam yang tergantung di dinding belakang dan menghela napas lega. Hampir aja telat.

Selagi berjalan menuju mejanya yang berada di barisan kedua, sebuah suara menyerukan namanya dengan keras. Aifa nyaris terlonjak mendengarnya.

"AIIFAAA!"

Gadis itu memelototi pelaku yang duduk disamping mejanya itu.

"Pagi-pagi bikin orang jantungan aja." omelnya, menaruh tas ransel di atas kursi.

Natya nyengir lebar, kelihatan tidak bersalah. Gadis itu bergegas menghampiri Aifa, memasang senyum kelewat manis, "Hari ini lo tetap cantik, Aifa."

Aifa menyingkirkan jemari Natya yang bersiap untuk memijat bahunya, buru-buru menjaga jarak. Ia melempar pandangan jengah pada Natya yang senyumnya belum luntur juga, "Minggir sana, creepy tau." Tangannya dikibaskan cepat-cepat, seolah sedang mengusir kucing liar.

Melihat Natya yang sepertinya menulikan diri dan hendak mendekat kembali, Aifa buru-buru merogoh isi tasnya, mengeluarkan sebuah buku tulis. Ia baru bisa menghela napas lega saat Natya akhirnya menyingkir dengan senang hati setelah menerima buku itu.

"Seriusan deh. Kalo mau pinjem PR, bilang aja. Gak usah sok manis kayak tadi. Bikin mual aja."

Natya hanya merespon dengan cengengesan lebar. Kalimat pedas Aifa bukan hal baru baginya, sudah jadi makanan sehari-hari malah.

Aifa menggeleng-gelengkan kepala, menjatuhkan diri ke kursi. Yah, pagi yang biasa. Ia menyandarkan punggung malas, mengeluarkan ponsel dari saku.

"Eh, Aifa. Tau gak?" ujar Natya, bosan dengan 10 detik keheningan tanpa pembicaraan itu. Padahal ia sendiri sibuk bolak-balik melirik tulisan di buku Aifa, secepat kilat menyalinnya di buku sendiri.

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang