Happy reading!:D
.
.
"Saya masih gak nyangka kalau masih ada yang inget sama novel debut saya. Dari sudut pandang objektif, novel itu jauh bumi langit kualitasnya sama karya terbaru saya. Tapi judul itu punya tempat spesial di hati saya. Jadi waktu kamu nanya soal itu, dan bahkan sadar hubungannya dengan Belfry, saya seneng banget. Padahal waktu itu saya juga masih pakai nama asli,"
Aifa mengembangkan senyum, berhati-hati agar tidak terlalu tampak kegirangan. Di hadapannya, Vanessa Zahar duduk seraya menyesap secangkir cappuccino. Rambut hitamnya tergerai sebatas punggung, dengan celana jeans dan kemeja garis biru putih. Di seberang kafe tempat mereka bercengkrama, terlihat keramaian dari book fair yang baru saja mereka hadiri.
Kenapa bisa begini?
Singkat cerita, Aifa menghadiri acara book fair yang disebutkan Vanessa tempo hari. Setelah sesi Vanessa sebagai pembicara selesai, Aifa bergegas mengunjungi sektor buku yang dijual di balik panggung, antusias membolak-balik buku diskonan. Tanpa sengaja, ia bersinggungan dengan Vanessa yang ternyata mengenalinya dari acara meet and greet beberapa minggu yang lalu. Aifa bergegas mengenalkan diri, sekilas merutuk karena lidahnya terpeleset saking gugupnya. Saat Aifa masih mengomel dalam hati, Vanessa tanpa disangka mengajak Aifa untuk berbicang lebih lanjut. Itulah bagaimana mereka bisa berakhir dalam situasi ini.
Berusaha kembali fokus pada percakapan, Aifa membalas, "Itu nama asli kakak? Kirain Vanessa Zahar yang sekarang ini yang asli."
Vanessa terkekeh, "Nama saya memang agak unik sih. Saya pakai nama 'Vanessa Zahar' biar lebih umum aja. Tapi gak jauh beda juga kan?"
Aifa mengangguk, "Bedanya minimal banget," lalu melompat kembali ke topik sebelumnya, "Walau G-Miracle udah lama banget, aku masih nangkep ciri khas kakak disana. Makanya, walaupun gak sempurna, vibenya masih 'Vanessa' banget, gitu," ungkapnya berapi-api.
Senyum lebar mekar di bibir lawan bicaranya, "Makasih. Saya seneng banget kalau karya saya bisa ngebuat kamu bahagia. Sebagai penulis, itu sumber kebanggaan terbesar saya."
Setelah puas berbincang soal novel debutnya, Vanessa membuka topik berikutnya.
"Aifa masih SMA ya?"
"Iya kak," angguk Aifa.
"Dimana?"
"Kultura."
Mendengar hal itu, raut Vanessa sontak menyala, "Oh, ya? Adik saya juga sekolah disana,"
Aifa mangut-mangut, tidak begitu tertarik, "Dunia emang sempit ya kak," balik bertanya sebagai bentuk kesopanan, "Kakak kerja dimana, kalo boleh tau?"
Vanessa menyebut sebuah merek kecantikan yang dikenali Aifa sebagai salah satu produk yang sering digunakan Melissa, "Saya kerja di bagian marketingnya,"
Aifa ber-oh ria sebagai balasan. Ia kemudian berdeham kecil, bersiap menanyakan sesuatu yang sudah menggelitik rasa penasarannya sejak mereka bertemu.
"Karena seri Belfry udah selesai, kakak mau nulis apa lagi? Boleh spoiler dikit dong," ujar Aifa semangat.
"Hmm, kasih tau gak ya?" godanya, baru menjawab setelah Aifa menatapnya dengan raut memelas, "Oke, Cuma untuk kamu ya. Saya mau coba nulis historical,"
Mata Aifa melebar, "Historical? Gak magical realism lagi?"
Salah satu trademark Vanessa adalah keahliannya dalam mengaburkan batas antara realita dan fantasi dengan diksi yang sederhana dan mempesona. Aifa selalu teringat dengan novel-novel Jepang favoritnya setiap kali membaca karyanya.
Vanessa melanjutkan, tidak heran dengan reaksi Aifa, "Kamu bukan orang pertama yang bilang begitu. Udah 7 tahunan saya nulis dalam genre magical realism. Itu comfort zone saya. Tapi saya ingin berkembang sebagai penulis. Bisa dibilang, ini adalahs tantangan untuk diri saya sendiri,"
Aifa mengangguk-angguk paham, "Apapun yang kakak tulis, aku pasti bakal koleksi. Semangat ya kak. Aku gak sabar banget," ujar Aifa sungguh-sungguh.
"Terima kasih atas dukungannya. Ditunggu ya,"
.
.
Chapter ini pendek banget ya, maaf banget;)
Aku sedang dilanda kemalasan akhir-akhir ini, jadi bisa update segini aja udah syukur. Semoga bisa lebih konsisten ke depannya.
Stay tune for the next chapter!

KAMU SEDANG MEMBACA
The Librarian Mission
Teen Fiction"Bergabung dengan tim perpus?" "Ya, dan ini bukan permintaan, tapi kesepakatan. Win-win solution untuk kita berdua." SMA Kultura adalah salah satu SMA swasta populer di Indonesia karena program-programnya yang menarik dan inisiatif baru yang berbeda...