BAB 36

34 4 0
                                    

"From the beginning to the end, it was all my fault. 

I just couldn't come to terms with it." 

(Adam and Eve by Yuuri)

.

.

Keesokan harinya, Aifa melangkah menuju gazebo belakang perpustakaan, tempat Irsha sudah menunggu. Gadis itu meringis, merasa ironis. Tempat ini memang lokasi pertemuan rahasia yang ideal.

Irsha menepuk-nepuk tempat di sebelahnya begitu melihat kedatangan Aifa.

Begitu mengambil tempat, Aifa berbasa-basi, "Maaf. Udah lama nunggu?"

"Enggak kok. Tadi kelas gue cuma cepet selesai,"

Hening sejenak.

"Jujur aja, gue kaget lo makan waktu selama ini buat manggil gue,"

Ujaran itu membuat Aifa melebarkan matanya. Disusul dengan helaan napas, "Jadi kamu beneran nyadar ya?"

Irsha hanya membalas dengan senyum yang tidak sampai ke mata, "Satu-satunya orang yang mikir gue suka coffe latte itu cuma Yordan soalnya. Dia suka coffe latte, makanya gue sengaja bilang begitu. Buat narik perhatian, bisa dibilang,"

Kening Irsha yang berkerut sepersekian detik saat menenggak minuman itu dan pandangan rumitnya saat menatap kaleng tersebut. Meski Aifa tidak yakin seratus persen, petunjuk-petunjuk itu sudah cukup baginya.

"Kalo kamu udah tau, kenapa gak bilang langsung?"

"Bisa dibilang gue lagi butuh pengalihan. Sejak gue putus dan rumor-rumor mulai nyebar, gue gak nyaman sama pandangan orang-orang. Gue gak fokus latihan dan jadi lebih mudah emosi. Di saat itulah, cewek yang juga suka Boyfie- meski mukanya selalu kecut tiap kali gue nyinggung itu, muncul. Dia gak nanya soal masalah gue dan tatapannya gak menghakimi. Walau ada niat tersembunyi, gue tetap terbantu dengan kehadiran lo," balas Irsha.

Gadis itu kemudian melihat sekelilingnya, "Terus? Dimana Yordan?"

"Aku gak panggil,"

Irsha mengerjap bingung, "Terus kenapa lo manggil gue kesini?"

"Ngobrol, mungkin?"

Sontak, tawa geli Irsha meledak, "Seriusan?"

Aifa mengangguk. Raut serius gadis itu makin membuat Irsha tergelak.

"Padahal gue udah siapin mental kesini, mikirin gimana buat ngomong ke Yordan. Ternyata gue diprank ya," Irsha mengakhiri tawanya, "Terus, lo mau bicara apa?"

"Gimana kalau mulai dari alasan kamu putus sama Yordan?"

"To the point ya,"

Aifa mengangkat bahu, "Sebagai pihak ketiga yang kalian libatkan, aku berhak tau perkaranya kan, paling enggak?"

Setelah berpikir lamat-lamat, Irsha memulai, menatap langit-langit bangunan gazebo.

"Lo inget waktu gue berdebat sama Miranda gara-gara Boyfie?" Irsha tertawa kecil tanpa humor, "Sebenernya, gue ngerasa tersindir, makanya jadi rada defensif,"

"Gue pun tau kalo itu gak bener. Tapi gue berusaha gak nyadar. Lo tau kan, kayak guilty pleasure,"

Aifa mengangguk-angguk, berusaha untuk tidak memikirkan fanfic-fanfic kesukaannya yang kadang patut dipertanyakan.

Satu tarikan napas dan Irsha melanjutkan, "Jadi soal Yordan. Awalnya gue tertarik gara-gara dia tipe bad boy gitu,"

"Kamu pingin 'ngerubah' dia?"

Irsha mengangkat bahu, "Begitulah. Kalau berhasil nge-fix cowok bad boy itu jadi kayak punya kebanggaan sendiri, kan?"

"Jadi kamu gak bener-bener suka sama Yordan?"

Irsha menggeleng kecil, "Gue udah tertarik sejak awal, tapi ego untuk ngerubah dia jauh lebih besar. Apalagi setelah tau kalo dia suka ngerokok dan ugal-ugalan. Gue sendiri pun gak tau apakah gue emang suka atau sekadar ego aja," ujarnya lemah.

"Gue sering main ke lapangan, ngasih dia minuman, dan mengakrabkan diri sama teman-temannya. dan akhirnya setelah dua bulan, dia nembak gue pas lagi makan bareng di café," senyum miris terulas di bibir Irsha, seolah tengah mengingat momen itu.

"Terus gue bilang kalau bakal gue terima kalau dia janji berenti balapan dan ngerokok. Dia bilang oke. Sobat-sobat gue muji-muji, bilang hebat karena bisa menaklukan salah satu top bad boy di sekolah kita. Kalau diingat-ingat lagi, gue ngerasa jijik waktu ingat betapa bangganya gue waktu itu. Dan Yordan, dia benar-benar berenti. Paling enggak di depan gue," Wajah Irsha menggelap.

"Setelah beberapa waktu, gue mulai ngerasa bersalah. Yordan benar-benar peduli sama gue. Karena gak kuat, gue mutusin mau ngaku ke Yordan. Waktu nyari, teman-temannya bilang dia lagi di warung belakang. Kayaknya mereka gak tau soal janji Yordan sama gue. Dan waktu gue sampe di sana, lo bisa simpulin sendiri kelanjutannya," Irsha menghela napas, "Gue lupa tujuan gue kesana. Yang gue ingat cuma Yordan berkhianat. Kami berantem hebat. Dan akhirnya gue bilang, 'Oke. Kalo lo gak mau ngikutin cara gue, kita putus aja.'

Hela napas Irsha terdengar untuk kesekian kalinya, seolah-olah berat dari kalimat itu menghantamnya. Gadis itu menengadah, menatap langit yang mulai ditutupi awan gelap, "Yordan syok banget, tapi dia gak bilang apa-apa lagi. Bahkan waktu gue pergi dari sana. Mungkin dia ngerasa harga dirinya bakal terluka kalo mohon-mohon untuk balik,"

Irsha tersenyum pahit, "Mungkin bakal lebih baik kalau semuanya berakhir disitu. Tapi Yordan itu keras kepala. Gue bukannya gak nyadar kalo dia berusaha ngajak gue bicara. Gue tau dia ada di mal waktu itu. Gue tau minuman dan makanan yang dia kirim lewat perantara kamu ataupun teman-temannya. Tapi gue gak berani ngehadapinnya. Gue takut. Merasa bersalah juga,"

"Kalau begitu, kalian harus bicara,"

"Kalian?" Irsha menyerngitkan dahi, kemudian tersentak. Jangan-jangan...

Seolah mengikuti cue, Yordan muncul dari balik pagar gazebo. Emosi yang tergambar pada ekspresinya tampak campur aduk. Tidak ada lagi kepercayaan diri yang kokoh itu. Kantong plastik berisi roti stoberi dan sekaleng coffe latte menggantung di tangannya.

Aifa beranjak berdiri. Tapi gerakannya terhenti saat merasakan Irsha memegangi lengannya. Mukanya pucat pasi dengan mata berkaca-kaca, memohon padanya untuk tinggal.

Aifa hanya tersenyum kecil, berusaha menguatkan, "Bukannya lebih baik kalian nyelesaiin ini sekarang? Gak asik main kucing-kucingan mulu, kan?"

Sebelum Irsha sempat merespon, Yordan menyela, "Ya, gue setuju. Ada banyak hal yang perlu kita bicarain, Sha." Ia menatap Irsha dalam-dalam.

Saat Aifa melewatinya, Yordan melempar anggukan singkat. Sorot matanya menampilkan rasa terima kasih yang samar, membuat Aifa mengangkat sebelah alis.

Well, that's unexpected.

***

The Librarian MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang